DALAM perkembangannya, VOC terus ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan kerap mengadu domba para bangsawan Jawa. Itu pula sebabnya, Sultan Hamengkubuwono II dari Kesultanan Yogyakarta tak pernah mau bekerja sama dengan VOC. Bahkan sikap itu sudah ia perlihatkan sejak ia secara resmi dinobatkan sebagai sultan pada Maret 1792, sebagaimana ditulis Djoko Marihandono dan Harto Juwono dalam buku Sultan Hamengku Buwono II Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa (2008). Apalagi, sultan yang pada masa mudanya bernama Gusti Raden Mas Sundara dan putra kelima Sultan Hamengkubuwono I dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng itu mengetahui, VOC ketika itu sedang morat-marit karena para pejabatnya korup.

Memang, pada akhir tahun 1799, VOC akhirnya dibubarkan. Kekuasaan VOC kemudian diambil alih Pemerintah Kerajaan Belanda.

Toh, Sultan Hamengkubowono II tetap tak mau menjalin persahabatan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sikapnya semakin keras ketika Herman Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak tahun 1808. Bahkan, Hamengkubuwono II juga merestui pemberontakan menantunya, Raden Rangga Prawiradirjo III, Bupati Wedana Madiun.

Belanda berhasil menumpas pemberontakan tersebut sekaligus mendapat informasi bahwa Sultan Hamengkubuwono II berada di balik pemberontakan tersebut. Maka, pada Desember 1810, pasukan Belanda menyerbu Yogyakarta dan melengserkan Hamengkubuwono II dari takhtanya. Daendels mengangkat putra Sultan Hamengkubuwono II, G.R.M. Suraja, sebagai Sultan Hamengkubuwono III.

Adik Hamengkubuwono II, Bendoro Pangeran Haryo Notokusumo, tak senang keponakannya (G.R.M. Suraja) naik takhta karena diangkat Daendels. Sebagaimana ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Pangeran Haryo Notokusumo pun ingin memerdekakan diri dan terpisah dari kuasa raja.

Kekuasaan Belanda kemudian harus berakhir pada tahun 1811, digantikan Inggris, sesuai dengan perjanjian Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda. “Tanah jajahan Belanda di Hindia Timur diserahkan kepada Inggris selama negeri Belanda diduduki Prancis,” demikian antara lain bunyi perjanjian tersebut.

Sungguhpun begitu, di Hindia Timur, Daendels tak mau begitu saja menyerahkan kekuasaannya kepada Thomas Stamford Raffles, yang ditunjuk sebagai Letnan Gubernur Jawa. Pertempuran pun terjadi selama dua pekan. Pangeran Haryo Notokusumo berada di pihak Raffles.

Hamengkubuwono II memanfaatkan situasi ini. Ia kemudian merebut kembali tahkta Kasultanan Yogyakarta dari tangan anaknya. Namun, sikapnya kepada Inggris sama seperti sikapnya kepada Belanda. Maka, ketika pasukan Raffles memenangkan pertempuran dari Daendels, Kasultanan Yogyakarta diserbu pasukan Inggris pada 19 Juni 1812.

Keraton Kasultanan Yogyakarta

Hamengkubuwono II ditangkap dan dibuang ke pulau Penang. Hamengkubuwono III kembali diangkat sebagai Sultan Yogyakarta. Akan halnya Pangeran Haryo Notokusumo yang mendukung Inggris kemudian diangkat sebagai Gusti Pangeran Adipati Paku Alam atau Pakualam I oleh Thomas Raffles dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Belanda pada tahun 1816, sesuai Convention of London 1814, raja-raja berharap terjadi pemulihan keadaan kerajaan. Namun, kenyataannya tidak demikian.

Akibatnya, semakin banyak bangsawan yang membenci Belanda, terutama karena Mataram kemudian terbagi menjadi empat: Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Belanda juga selalu ikut campur masalah di empat kerajaan itu. Apalagi, Belanda memperlakukan kerja rodi dan pajak tanah yang memberatkan rakyat.

Itulah terutama yang memicu terjadinya Perang Diponegoro atau Perang Jawa, dari tahun 1825 sampai 1830, antara Pangeran Diponegoro beserta pasukan dan pengikutnyan dengan pasukan Pemerintah Kolonial Belanda. Disebut Perang Jawa karena peperangan ini melanda hampir di seluruh Jawa. Pangeran Diponegoro adalah putra Sultan Hamengkubuwono III atau Pangeran Adipati Anom.

Menurut Peter Carey dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 (2014), Belanda dalam Perang Jawa menderita kerugian sangat besar: sebanyak 7 ribu orang lokal yang merupakan serdadu pembantu tewas, 8 ribu serdadu Belanda tewas, dan Belanda menghabiskan dana 20 juta gulden untuk perang ini. [Purwadi Sadim]