Tradisi Nenjrag Bumi. (foto: ciungtips.com)

Berbagai tradisi lokal di Indonesia, kini perlahan mulai tergerus zaman. Gaya hidup yang serba praktis dan minimnya ruang bagi ritual adat membuat sejumlah kebiasaan leluhur hanya tinggal cerita. Namun, di sejumlah kampung di Jawa Barat, masih ada masyarakat yang setia menjaga warisan leluhur mereka. Salah satunya adalah Nenjrag Bumi, sebuah tradisi adat masyarakat Sunda yang memiliki makna mendalam dalam menyambut kehidupan baru.

Tradisi ini bukan sekadar seremoni atau perayaan atas kelahiran, melainkan peristiwa simbolik yang penuh nilai filosofis dan spiritual. Dalam budaya Sunda, kelahiran bukan hanya proses biologis, melainkan juga momen sakral yang menandai hubungan pertama manusia dengan alam semesta. Oleh karena itu, bayi tidak hanya diperkenalkan kepada keluarga dan lingkungan sosial, tetapi juga kepada bumi, tempat ia akan hidup dan tumbuh dewasa sekaligus permohonan agar ia tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan pemberani.

Nenjrag Bumi merupakan salah satu tradisi adat masyarakat Sunda yang telah diwariskan secara turun-temurun, khususnya di wilayah Jawa Barat. Secara harfiah, Nenjrag Bumi berarti “menggetarkan bumi”. Dalam praktiknya, terdapat dua cara pelaksanaan yang umum dilakukan masyarakat. Pertama, bayi diletakkan di atas pelupuh alas dari bilah bambu kemudian sang ibu menghentakkan kakinya ke permukaan tersebut sebanyak tujuh kali. Kedua, bayi diletakkan di lantai beralas pelupuh, lalu alu atau alat penumbuk padi dari kayu dipukulkan ke tanah di dekat bayi, juga sebanyak tujuh kali.

Tradisi ini dipercaya memiliki nilai simbolik yang kuat. Hentakan kaki atau pukulan alu dimaknai sebagai bentuk komunikasi spiritual antara manusia dan alam. Bayi yang diperkenalkan kepada bumi dengan cara ini diharapkan tidak mudah terkejut, tidak gampang takut, dan siap menghadapi tantangan hidup ke depannya.

Filosofi yang melandasi ritual ini menekankan pentingnya keterhubungan manusia dengan alam. Posisi bayi yang bersentuhan langsung dengan bambu dan tanah menjadi lambang kedekatan dengan unsur-unsur alami sebagai bagian dari siklus kehidupan. Selain itu, angka tujuh dalam tradisi ini kerap diasosiasikan dengan kesempurnaan dan harapan spiritual dalam berbagai kepercayaan lokal.

Di masa lalu, Nenjrag Bumi dilaksanakan langsung di tanah halaman rumah. Namun kini, perubahan lingkungan dan gaya hidup membuat pelaksanaannya lebih banyak dilakukan di dalam rumah, dengan pelupuh sebagai elemen simbolik utama. Meski mengalami perubahan bentuk, esensi dari ritual ini tetap dijaga.

Selain sebagai bentuk syukur atas kelahiran, Nenjrag Bumi juga mencerminkan penghormatan terhadap leluhur dan nilai-nilai spiritual masyarakat Sunda. Tradisi ini menjadi cermin kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan alam serta memperkuat identitas budaya.

Namun demikian, seiring berkembangnya zaman, praktik Nenjrag Bumi kian jarang dilakukan. Minimnya pewarisan nilai secara langsung dan bergesernya perhatian masyarakat terhadap tradisi lisan menjadi tantangan tersendiri dalam pelestariannya.

Upaya pelestarian bisa dilakukan melalui pendokumentasian dan pengenalan kembali tradisi ini kepada generasi muda, baik melalui pendidikan formal maupun kegiatan kebudayaan. Nenjrag Bumi bukan hanya warisan budaya, melainkan juga potret dari cara masyarakat Sunda memaknai kehidupan dan membentuk karakter sejak manusia baru mulai mengenal dunia. [UN]