Warga Kampung Adat Miduana di Desa Balegede, Kecamatan Naringgul, Kabupaten Cianjur, melaksanakan tradisi mandi di aliran Sungai Cipandak.(Sumber foto: Media Indonesia)

Di balik sejuknya udara pegunungan Cianjur, tersembunyi sebuah kampung adat yang sarat dengan sejarah, budaya, dan keunikan, bernama Kampung Adat Miduana. Terletak di Desa Balegede, Kecamatan Naringgul, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, kampung ini bukan sekadar pemukiman, melainkan jejak hidup keturunan kerajaan Padjajaran yang menjaga teguh warisan leluhur mereka.

Asal Usul Nama dan Sejarah Pendirian

Dilansir dari berbagai sumber, nama “Miduana” berasal dari kata “Midua”, yang berarti “terbagi dua”. Nama ini mencerminkan posisi geografis kampung yang terletak di antara dua aliran sungai, Cipandak Hilir dan Cipandak Girang, yang bersatu menjadi Sungai Cipandak. Dahulu, kawasan ini dikenal sebagai Jogol Alas Roban, dan dipimpin oleh Eyang Jiwa Sadana bersama sembilan kepala keluarga pertama.

Menurut sejarah yang diwariskan secara lisan maupun tertulis, Kampung Miduana didirikan oleh dua tokoh kembar keturunan Kerajaan Pajajaran: Eyang Jagat Nata dan Eyang Jagat Niti. Keduanya membawa serta nilai-nilai budaya Sunda yang hingga kini masih dipegang erat oleh masyarakat kampung.

Kampung Adat Miduana membentang seluas 1.041 hektar, terbagi dalam 11 RT dan 4 RW. Dihuni oleh sekitar 280 kepala keluarga atau 1.207 jiwa, kampung ini dikelilingi pegunungan dan pepohonan yang rimbun, menciptakan suasana asri dan alami. Warga masih mempertahankan gaya hidup tradisional, termasuk pakaian khas seperti totopong dan baju hitam.

Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dan penyadap aren, menjalankan sistem pertanian tradisional yang tunduk pada adat. Salah satu aturan adat yang unik adalah larangan menanam padi ketan di bagian hulu lahan pertanian.

Keunikan Kampung Miduana tak hanya terletak pada budayanya, tapi juga pada usia panjang warganya. Banyak warga yang tetap aktif bertani meski telah berusia di atas 100 tahun. Gaya hidup tradisional, makanan alami, serta lingkungan yang bersih diyakini menjadi kunci dari kesehatan dan kebahagiaan mereka.

Tradisi dan Warisan Budaya

Tradisi leluhur begitu kuat melekat dalam kehidupan masyarakat Miduana. Setiap tahun, mereka menggelar syukuran yang disebut Dongdonan Wali Salapan, sebuah upacara adat besar yang melibatkan para kokolot adat. Dalam keseharian, warga memegang teguh Lanjaran Tatali Paranti, yaitu panduan hidup berdasarkan adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari bertani hingga berinteraksi sosial.

Menjelang bulan Ramadan, warga Miduana menjalankan Mandi Kahuripan atau Kuramasan, yaitu tradisi mandi bersama di Sungai Cipandak sebagai simbol penyucian lahir dan batin. Pada bulan Maulid, mereka merayakan Opatlasan Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan penuh kekhidmatan.

Dalam aktivitas bertani, setiap tahapan dari menanam hingga panen selalu diiringi oleh doa, mantra, dan aturan adat yang ketat. Demikian pula dengan adat pernikahan, yang dijalani secara sakral dan berurutan dari prosesi lamaran hingga akad, semua mengikuti tata cara Sunda warisan karuhun.

Kekayaan budaya Miduana juga tercermin dari situs-situs bersejarah yang masih lestari hingga kini. Di antaranya adalah Situs Batu Rompe, sebuah menhir kuno yang diperkirakan telah berdiri sejak ribuan tahun lalu. Ada pula Arca Cempa Larang Kabuyutan, artefak budaya yang dipercaya berumur lebih dari 2.000 tahun dan menjadi simbol kebesaran masa lalu. Tak kalah menarik, terdapat Goa Ustralia, sebuah goa alami yang tidak hanya menyimpan nilai sejarah, tetapi juga penting bagi ekologi kampung.

Kesenian Tradisional

Di tengah arus modernisasi, seni tradisional tetap menjadi denyut kehidupan Kampung Adat Miduana. Wayang Gejlig menjadi salah satu kesenian khas yang masih dipentaskan, dimainkan oleh warga kampung sendiri dengan iringan gamelan yang merdu. Selain itu, kesenian Nayuban dan Lais juga masih digelar dalam acara-acara adat tertentu, menambah semarak suasana kebudayaan.

Meski beberapa kesenian lain seperti calung, rengkong, reog, tarawangsa, dan pantun buhun kini mulai jarang ditampilkan, ingatan kolektif masyarakat tetap menyimpannya sebagai bagian dari identitas budaya yang berharga.

Kampung Adat Miduana bukan hanya destinasi wisata budaya, melainkan representasi hidup dari sebuah peradaban yang masih bertahan. Di tengah arus modernitas, Miduana menjadi pengingat bahwa identitas budaya adalah warisan paling berharga. Bagi siapa pun yang ingin menyelami kedalaman budaya Sunda, Miduana adalah gerbang yang kaya akan cerita dan kearifan. [UN]