Siapa sangka seorang pelukis cilik mempunyai naluri artistik kesejarahan. Mohammad Toha Adimijojo, dalam usia sebelas tahun, mampu merekam momen bersejarah peristiwa penangkapan Presiden RI pertama Sukarno dan Wakil Presiden RI pertama M. Hatta serta pemimpin lainnya pada 1948 di Yogyakarta saat Agresi Militer Belanda II.
Kala itu ibu kota Indonesia sudah berpindah ke Yogyakarta pada 1946 karena kondisi Jakarta sudah tidak aman. “M. Toha yang saat itu masih berusia 11 tahun melukis di tempat saat Sukarno dan Hatta dibawa oleh pasukan Belanda dengan mobil Jeep,” kata Oscar Matuloh, kepala Divisi Museum dan Galeri Jurnalistik Foto Antara.
Sebetulnya, saat itu bukan hanya Mohammad Toha yang membuat lukisan, tapi juga empat kawannya yang lain. Tapi Toha yang paling cilik. Kala pasukan yang dipimpin Letnan Kolonel Van Beek bergerak menuju jantung kota Yogya, di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) tak ada yang berani beraktivitas. Perang sedang berkecamuk.
Dalam kondisi kacau ini, pelukis Dullah mengumpulkan anak-anak didiknya yang berusia belasan tahun. Mereka adalah Mohammad Toha (11 tahun), Muhammad Affandi (12), Sarjito (14), FX. Soepono (15), dan Sri Suwarno (14). Mereka dianggap mumpuni karena sudah diasuhnya lebih dari setahun.
Setelah kelimanya terkumpul, Dullah memberi gambaran singkat mengenai aktivitas mereka yang sarat bahaya. Dia menginstruksikan agar mereka menggambar apapun: kekejaman Belanda, situasi perang, hingga penangkapan-penangkapan.
“Sesudah Belanda menyerbu Yogya, saya langsung mencari anak didik saya yang masih kecil itu. Lantas saya pimpin untuk membuat lukisan-lukisan dokumentasi pendudukan Yogyakarta,” ujar Dullah suatu waktu. Mulailah kelima pelukis cilik itu beraksi. Setiap ada peristiwa menarik, mereka mengeluarkan alat gambar dan mulai melukis.
Agus Darmawan T, kurator lukisan, pernah mewawancarai Toha. Pelukis ini mengatakan, waktu itu pada dirinya ada rasa gentar, ada rasa takut tapi dimotivasi untuk kembali dengan hasil. Karena itu dengan berbagai cara diatur sendiri, misalnya dengan pura-pura berjualan rokok. “Dan alat lukis itu disimpan di tempat jualan saya,” ujar Agus menirukan ucapan Mohammad Thoha.
Lukisan mereka kecil saja. Bahkan lebih kecil dari ukuran kartu pos. Hal itu sebagai siasat supaya mereka tak ketahuan dan ditangkap Belanda. Tapi lukisan kecil mereka memuat informasi besar soal apa yang tengah terjadi di negeri ini.
Oscar menjelaskan, lukisan Mohammad Toha Adimijojo itu tak hanya merekam kejadian diangkutnya para tokoh-tokoh tersebut, tetapi juga menggambarkan peristiwa itu dan didokumentasikan oleh fotografer. Terlihat ada satu gambar seorang fotografer berada di sebelah kiri bawah lukisan yang sedang memotret iring-iringan jeep tersebut.
Lukisan Mohammad Toha pernah dipertunjukan dalam pameran Art & Diplomacy yang digelar di tiga tempat yaitu di Perpustakaan Nasional, Galeri Foto Jurnalistik Antara, dan di Museum Bronbeek di Belanda. Lukisan yang dipamerkan merupakan reproduksi dari lukisan aslinya yang telah menjadi koleksi dari Rijksmuseum, Belanda. Tak hanya dipamerkan, lukisan tersebut juga menjadi sampul depan dari buku Art and Diplomacy.
Mohammad Thoha setidaknya memiliki 45 lukisan, dan sebagiannya dijual menjadi menjadi koleksi dari Rijksmuseum. Sebelumnya, lukisan-lukisannya pernah dipinjam pemerintah Belanda untuk dipamerkan di Legermuseum (Museum Angkatan Bersenjata) di Delft tahun 1992.
Bahkan pemerintah Belanda membuat film televisi yang merekonstruksi kisah Toha melukis di tengah desingan peluru dan dentuman bom. Film yang dibikin IDTV Amsterdam itu menjadi bagian dari film berjudul Een Waarheid Met Vele Gezichten (Kebenaran dalam Banyak Wajah).
Seni rupa memang merupakan sisi lain dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selama ini masyarakat hanya mengenal perjuangan lewat militer saja, namun sebenarnya seniman, politikus, dan pihak lain juga giat untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Perjuangan Indonesia tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang mengangkat senjata saja, tetapi pihak-pihak lain termasuk seniman. Seni rupa hadir untuk menggambarkan kondisi saat itu. Melalui lukisan, kita bisa menambah historiografi dan menambah gairah sejarawan dalam mengungkap perjalanan bangsa. [AT]