Pada penghujung tahun 1948, Indonesia menghadapi salah satu ujian terberat dalam sejarah kemerdekaannya. Agresi Militer Belanda II tidak hanya mengancam kedaulatan negara, tetapi juga berusaha menggagalkan perjuangan Republik Indonesia dengan menangkap para pemimpin utamanya, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dalam situasi genting ini, lahirlah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), sebuah pemerintahan yang beroperasi di bawah tekanan, namun berhasil menjaga eksistensi republik melalui strategi perang gerilya dan diplomasi. Artikel ini akan mengulas bagaimana PDRI menjadi benteng terakhir perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan di tengah agresi Belanda.
Menurut laman kemdikbud, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) merupakan pemerintahan darurat yang dibentuk sebagai respons atas Agresi Militer Belanda II yang mengakibatkan penangkapan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta sejumlah menteri Republik Indonesia. Pembentukan PDRI bertujuan untuk menyelamatkan legitimasi konstitusional negara Indonesia dan memastikan keberlangsungan pemerintahan di tengah situasi genting akibat pendudukan Belanda atas Yogyakarta.
Latar Belakang Pembentukan PDRI
Secara yuridis, legalitas PDRI didasarkan pada Instruksi Presiden tanggal 19 Desember 1948 yang memberikan kuasa kepada Menteri Kemakmuran, Mr. Syafruddin Prawiranegara, untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera. Meskipun telegram resmi dari Pemerintah Pusat tidak sampai kepadanya secara langsung, Syafruddin mengambil inisiatif mendirikan PDRI setelah mendengar berita dari siaran radio mengenai jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda. Pada tanggal 22 Desember 1948, PDRI resmi berdiri di Halaban, daerah Limapuluh Kota, Sumatera Barat.
Struktur Pemerintahan PDRI
PDRI dijalankan oleh Kabinet Perang yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri (ad interim). Struktur kepemimpinan lainnya mencakup:
Wakil Ketua: Mr. Teuku Mohammad Hasan (merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama)
Menteri Keamanan: Mr. St. Mohammad Rasjid (merangkap Menteri Sosial, Pembangunan, dan Perburuhan)
Menteri Keuangan: Mr. Lukman Hakim (merangkap Menteri Kehakiman)
Menteri Pekerjaan Umum: Ir. Mananti Sitompul (merangkap Menteri Kesehatan)
Menteri Perhubungan: Ir. Indratjaja (merangkap Menteri Kemakmuran)
Pejabat militer dalam PDRI di antaranya adalah Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang RI, Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Territorium Jawa (PTTJ), dan Kolonel Hidayat sebagai Panglima Territorium Sumatera (PTTS). Selain itu, Mr. A.A. Maramis diangkat sebagai Menteri Luar Negeri yang bertugas membawa permasalahan Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PDRI juga menunjuk perwakilan di Jawa yang dipimpin oleh Sukiman, Kasimo, dan Mr. Susanto.
Tujuan utama PDRI adalah mengoordinasikan pemerintahan, melanjutkan perang gerilya, dan menjaga moral perjuangan rakyat agar republik tetap bertahan. PDRI bersifat mobil dan berpindah-pindah demi keamanan. Setelah diproklamasikan di Halaban, Syafruddin dan kabinetnya berpindah ke Bidar Alam, Solok Selatan, pada 24 Desember 1948, dengan pengawalan ketat dari tentara serta operator radio. Untuk memperkuat perlawanan, PDRI menerapkan sistem komando militer dengan menunjuk sejumlah Gubernur Militer, antara lain:
Mr. Moh. Rasyid (Sumatra Barat)
Tengku Daud Beureueh (Aceh)
Dr. F.L. Tobing (Sumatra Timur dan Tapanuli)
R.M. Utoyo (Riau)
A.K. Gani (Sumatra Selatan)
Sistem ini dikenal sebagai “perang rakyat semesta,” di mana seluruh rakyat dilibatkan dalam perjuangan di bawah pengawasan Angkatan Perang Republik Indonesia. Organisasi pendukung seperti Pusat Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (P3PDRI), Markas Pertahanan Rakyat Daerah dan Kota (MPRD/MPRK), serta Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) turut membantu dalam pertahanan dan logistik.
Peristiwa Situjuh
Pada 15 Januari 1949, terjadi Peristiwa Situjuh, yaitu serangan mendadak Belanda terhadap pemimpin republik saat rapat konsolidasi di Situjuh. Serangan ini menewaskan 69 pejuang, termasuk Chatib Sulaiman (Ketua MPRK), Arisun (Bupati Limapuluh Kota), dan beberapa perwira lainnya. Peristiwa ini justru memperkuat solidaritas di antara komponen perjuangan, sehingga PDRI semakin mendapatkan perlindungan dari struktur militer dan sipil.
Ketua PDRI, Syafruddin Prawiranegara, menjadikan Bidar Alam sebagai pos komando utama PDRI dari 14 Januari hingga 18 April 1949. Dari sana, PDRI melakukan siaran radio rutin untuk menginformasikan dunia tentang keberadaan dan perjuangan Indonesia. Konsistensi pemberitaan ini memberikan tekanan internasional terhadap Belanda, yang akhirnya harus menghadapi perlawanan diplomasi Indonesia di PBB.
Sementara itu, di Jawa, pasukan republik melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang berhasil menduduki kota selama enam jam. Keberhasilan ini semakin menekan Belanda untuk berunding. Namun, perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Roem-Royen (April 1949) dilakukan bukan dengan PDRI, melainkan dengan pemimpin republik yang telah ditawan sebelumnya, yaitu Soekarno dan Hatta.
Perundingan ini berujung pada kesepakatan bahwa pemimpin republik akan dikembalikan ke Yogyakarta pada 22 Juni 1949, dan akan diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk menyelesaikan masalah kedaulatan Indonesia.
Akhir PDRI dan Pengembalian Mandat
Kesepakatan Roem-Royen membuat Syafruddin Prawiranegara dan Jenderal Soedirman kecewa karena merasa bahwa PDRI-lah yang seharusnya berunding dengan Belanda. Namun, demi keutuhan negara, Syafruddin bersedia menyerahkan mandatnya kepada pemerintah pusat. Pada 13 Juli 1949, dalam rapat kabinet yang dipimpin oleh Mohammad Hatta di Yogyakarta, Syafruddin Prawiranegara secara resmi mengembalikan mandat PDRI kepada pemerintah pusat, menandai berakhirnya pemerintahan darurat.
PDRI memainkan peran krusial dalam menjaga eksistensi Republik Indonesia di tengah tekanan Belanda pada Agresi Militer II. Dengan strategi perang gerilya, koordinasi militer, serta diplomasi yang kuat, PDRI mampu mempertahankan kedaulatan Indonesia hingga akhirnya diakui dalam perundingan internasional. Meskipun eksistensinya hanya berlangsung kurang dari setahun, PDRI membuktikan bahwa Indonesia tetap bertahan sebagai negara yang berdaulat dan tak bisa dikalahkan oleh kolonialisme. Keberanian dan pengorbanan para pemimpin serta pejuang PDRI patut menjadi inspirasi bagi generasi penerus bangsa. [UN]