Ilustrasi malam jumat. (Pixabay)

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat akan nilai spiritual dan budaya, hari-hari tertentu seringkali memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar penanda waktu. Salah satunya adalah malam Jumat, yang dalam beberapa budaya lokal tidak hanya dilihat sebagai malam menjelang akhir pekan, tetapi sebagai waktu yang sarat makna mistis dan simbolis. Fenomena ini telah lama menjadi bagian dari narasi keseharian masyarakat, mulai dari kisah-kisah mitos yang melegenda hingga praktik-praktik keagamaan dan budaya yang diwariskan lintas generasi.

Di berbagai penjuru Indonesia, terutama di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura, malam Jumat bukan sekadar malam biasa. Ia menyimpan nuansa yang berbeda sekaligus menyeramkan. Terlebih ketika malam Jumat jatuh pada Jumat Kliwon, sebuah malam yang dalam kepercayaan lokal diyakini sebagai saat di mana batas dunia nyata dan gaib menjadi lebih tipis dari biasanya.

Dalam tradisi masyarakat Indonesia, malam Jumat Kliwon dikenal sebagai malam arwah. Konon, pada malam ini, arwah leluhur pulang mengunjungi keluarganya. Beberapa kalangan bahkan percaya bahwa makhluk halus dan entitas astral lebih mudah berkeliaran. Tak jarang malam ini dimanfaatkan sebagai waktu yang dianggap “tepat” untuk melakukan ritual-ritual tertentu, termasuk pengiriman santet atau kegiatan supranatural lainnya. Kepercayaan semacam ini telah diwariskan turun-temurun, melekat dalam budaya, dan terus bertahan di tengah arus modernisasi.

Namun, keistimewaan malam Jumat sebagai malam penuh mistis tampaknya merupakan fenomena kultural yang sangat khas Indonesia. Di luar negeri, malam Jumat tidak memiliki konotasi angker yang sama. Justru di banyak negara, malam Jumat lebih dikenal sebagai malam hiburan, waktu bersantai setelah pekan kerja yang melelahkan. Istilah Friday night out menjadi semacam perayaan kecil, di mana orang-orang pergi ke bioskop, bar, konser, atau sekadar menikmati makan malam di luar bersama teman dan keluarga.

Meski demikian, bukan berarti dunia luar sepenuhnya bebas dari cerita-cerita horor pada malam Jumat. Di Hawaii, misalnya, ada kisah legendaris yang dikenal sebagai “Friday Night Frights”. Bukan karena hari Jumat itu sendiri mistis, melainkan karena pada malam-malam tertentu, masyarakat setempat percaya akan kemunculan para Night Marchers, arwah para prajurit kuno Hawaii yang dulunya bertugas menjaga tokoh-tokoh sakral kerajaan.

Arwah para pejuang ini dikisahkan berbaris di tengah malam melewati hutan dan jalan setapak, mempertahankan sumpah suci mereka. Orang-orang yang tidak menghormati mereka atau kebetulan melihat iring-iringan itu tanpa izin diyakini akan terkena kutukan atau kematian mendadak. Kisah ini memang menggetarkan, tetapi lebih tertaut pada konteks legenda lokal dan tidak melekat secara langsung pada malam Jumat.

Cerita-cerita seperti ini menunjukkan bahwa keyakinan terhadap malam angker atau malam penuh misteri bukanlah hal yang eksklusif milik satu budaya. Setiap daerah dan bangsa memiliki versinya masing-masing, meski bentuk dan maknanya bisa berbeda jauh. Di Barat, misalnya, malam Halloween lebih identik dengan kisah seram dan mistisisme, bukan malam Jumat.

Sementara itu, bagi masyarakat Indonesia, malam Jumat masih menyimpan daya tarik tersendiri baik sebagai malam perenungan spiritual, malam untuk berdoa dan mengaji, maupun sebagai malam yang dihormati karena dianggap sakral dan keramat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks budaya Nusantara, unsur mistis dan spiritualitas seringkali berjalan berdampingan, menjadi bagian dari jalinan kehidupan sehari-hari.

Meskipun zaman terus berubah dan teknologi merambah hampir semua aspek kehidupan, keyakinan dan tradisi lokal seperti malam Jumat tetap memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Di satu sisi, ia adalah cermin dari kekayaan budaya dan spiritualitas bangsa; di sisi lain, ia juga dapat menjadi ruang untuk merefleksi dan memahami dinamika kepercayaan dari sudut pandang budaya, bukan hanya supranatural.

Sebagai generasi yang hidup di antara warisan tradisi dan tantangan modernitas, kita memiliki peran untuk menyikapi kepercayaan tersebut dengan bijak bukan sekadar percaya atau menolak mentah-mentah, melainkan memahami konteks sejarah, sosial, dan budaya di baliknya. Dengan demikian, malam Jumat tidak hanya menjadi malam penuh cerita mistis, tapi juga menjadi jendela untuk memahami kedalaman budaya bangsa dan memperkaya khazanah identitas kita sebagai masyarakat Indonesia. [UN]