Ribuan tahun lalu manusia purba yang hidup pada zaman prasejarah selalu berpindah-pindah tempat. Jika sumber pangan dari lokasi yang satu habis, mereka akan mencari tempat lain. Lama-kelamaan mereka mulai menetap. Bahkan membudidayakan sumber pangan berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sering kali mereka harus berburu hewan ke luar wilayah tempat tinggal mereka.
Untuk melindungi tubuh dari cuaca, mereka mencari tempat berteduh. Mereka memilih ceruk atau gua. Di dalam gua mereka tinggal di bagian terbawah. Bagian tertinggi mereka gunakan untuk ‘nenek moyang’. Mungkin untuk mengekspresikan karya seni atau berhubungan dengan ritual, mereka ‘melukisi’ bagian-bagian gua. Dulu ketika pertama kali dieksplorasi oleh penjelajah dan peneliti, sebagian besar lukisan gua berupa gambar tangan.
Lukisan gua dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, menjadi temuan arkeologi paling populer. Ini karena banyaknya publikasi tentang Pulau Muna. Dulu Pulau Muna masuk wilayah Sulawesi Selatan. Wilayah Sulawesi Selatan memang terkenal dengan temuan lukisan gua, yang kemudian populer sebagai gambar cadas.
Temuan gambar cadas tertua di dunia berasal dari Maros, Pangkep (Sulawesi Selatan), tepatnya Gua Leang Bulu’ Sipong 4. Di gua itu, sebagaimana dipaparkan pada akhir 2019 lalu oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, tim peneliti gabungan Indonesia-Australia menemukan gambar unik berupa figur pemburu dalam bentuk therianthropes sedang menangkap enam mamalia yang melarikan diri, yakni dua ekor babi rusa dan empat ekor anoa. Boleh dibilang therianthropes merupakan makhluk setengah manusia setengah hewan. Diperkirakan umur therianthropes itu 44.000 tahun.
Layang-layang tertua
Di dalam gua pernah ditemukan gambar layang-layang. Diduga 40.000 tahun lalu layang-layang sudah dikenal di wilayah Sulawesi. Bisa jadi inilah layang-layang tertua di dunia. Saat ini layang-layang demikian masih ada dan terbuat dari daun yang disambung-sambung.
Gambar cadas sendiri memiliki beraneka ragam sebutan, seperti gambar gua, lukisan dinding gua, lukisan cadas, gambar cadas, seni cadas, dan lain-lain. Ini identik dengan istilah dalam bahasa Inggris rock art, cave art, atau rock painting.
Menurut buku Gambar Cadas Prasejarah di Indonesia (Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, 2015) kata ‘gambar’ digunakan sebagai sebutan yang bersifat umum karena tidak semuanya berupa ‘lukisan’. Sementara kata cadas digunakan untuk menunjukkan bahwa gambar prasejarah tersebut dibuat atau terdapat pada batuan yang keras (cadas). Kemungkinan gambar cadas dibuat untuk keperluan ‘magis perburuan’. Selain itu untuk menggambarkan makhluk sakti, kejadian samanik, cerita keseharian, dan kejadian sosial yang penting.
Gambar cadas ditemukan dalam bentuk yang hampir mirip, meski dengan gaya yang khas pada masing-masing wilayah atau situs. Objek yang digambarkan umumnya berupa cap tangan, binatang, manusia, geometris, dan abstrak. Dari berbagai objek itu kita mendapat informasi bahwa aspek kehidupan manusia masa lalu beraneka ragam. Selain di Sulawesi, gambar cadas ditemukan juga di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Papua.
Ada beragam warna yang digunakan untuk menggambar dinding dan atap gua. Warna yang paling banyak digunakan–mungkin sangat tahan terhadap waktu–adalah merah. Warna-warna lain sudah pudar atau hilang. Warna merah diperoleh dari oker. Campuran oker dan tanah liat mungkin digunakan untuk menghasilkan warna coklat. Sementara warna hitam dihasilkan oleh arang.
Selain pada gua, tinggalan ‘kesenian’ manusia purba terdapat pada ceruk dan tebing. Malah ada yang hanya bisa dilihat dengan perahu, seperti yang terdapat di Papua. Maklum gambar tersebut terdapat di dinding tebing yang menghadap ke laut. Inilah keterampilan manusia masa lalu yang luar biasa.
Pada gua, gambar terdapat pada bagian dinding dan langit-langit gua. Gambar-gambar tersebut terdeposit bersama dengan benda-benda lain seperti wadah dan sampah dapur di permukaan dan pelataran gua. Adanya tinggalan tersebut menunjukkan manusia purba sudah bermukim di dalam gua.
Vandalisme
Diketahui banyak gambar cadas mengalami kerusakan dari kecil hingga besar. Terbanyak mengalami pengelupasan sehingga akan membahayakan tinggalan-tinggalan purba tersebut. Kondisi semakin memburuk karena iklim.
Yang memprihatinkan, beberapa gambar cadas dipenuhi vandalisme atau corat-coret manusia masa kini. Padahal gambar cadas terdapat di tempat-tempat yang tinggi, seperti dinding gua, atap gua, dan bukit. Entah dengan cara bagaimana mereka naik ke tempat tinggi seperti itu.
Mungkin kalau dikomersialkan secara tidak terkontrol, kelangsungan tinggalan berusia ribuan tahun itu semakin berbahaya. Gua purba di Meksiko bisa menjadi contoh. Tinggalan itu rusak karena padatnya pengunjung. Tidak dimungkiri kalau udara dari tubuh manusia lama-kelamaan akan berpengaruh negatif pada obyek. Pemasukan dari pariwisata jelas penting. Namun memelihara karya nenek moyang yang tidak mungkin dicipta ulang itu, jauh lebih penting.
Beberapa situs gua prasejarah sejak lama terdampak usaha pertambangan. Padahal, potensi situs-situs tersebut sangat besar karena berfungsi sebagai ‘museum’ yang merekam banyak kejadian dari masa lampau. Kita harapkan aspek ekonomi bisa berjalan tanpa mengesampingkan aspek ilmiah dan aspek pelestarian.
Temuan yang sudah mendunia itu harus dikemas dengan baik. Kita bisa contoh pemerintah Perancis yang butuh waktu bertahun-tahun untuk mengemas gua prasejarah sehingga dikenal secara internasional. [DS]