Lewat FCPA, AS kini berubah menjad polisi anti-korupsi global [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Kasus yang berkaitan dengan penangkapan Direktur Keuangan Huawei, Sabrina Meng Wanzhou sulit dilepaskan dari posisi Amerika Serikat (AS) sebagai negara adidaya alias imperialisme. Melalui berbagai produk hukum yang mereka ciptakan, AS kini bisa menjerat siapa saja jika itu bertentangan dengan kepentingan ekonomi politik AS.

Sebelum Meng, seperti dilaporkan Soutch China Morning Post pada Sabtu (8/12), pengadilan New York juga pernah menghukum Patrick Ho, mantan pejabat Hong Kong karena tuduhan penyuapan dan pencucian uang. Tuduhan yang tidak asing tentunya, karena kedua orang ini bukanlah yang pertama mengalaminya.

AS sebagaimana yang telah disebutkan melalui Foreign Corrupt Practices Act (FCPA), jika diterjemahkan menjadi undang udang anti-korupsi yang ditujukan kepada warga asing menjadi alat untuk “memberantas” anti-korupsi secara global. Dan itu memungkinkan AS menjadi polisi anti-korupsi untuk seluruh dunia.

Wendy Wysong, aktivisi anti-korupsi dan juga advokat di kantor hukum Clifford Chance mengatakan, sudah banyak contoh orang yang dijerat hukum anti-korupsi AS padahal mereka bukan warga negara AS, terjadi di luar wilayah hukum AS dan bukan perusahaan AS. Namun, jika transaksi keuangan, rekening keuangan, surat elektronik atau apapun yang terlacak melalui AS, maka negara tersebut akan menjerat orang-orang non-AS itu dengan hukum korupsi atau lain sebagainya.

Di luar Patrick Ho dan Meng, eksekutif Siemens Jerman, Eberhard Reichert pernah ditangkap dan diekstradisi ke AS pada 2017. Ia ditangkap di Kroasia atas tuduhan terlibat dalam penyuapan senilai US$ 100 juta kepada pejabat Argentina untuk mendapatkan kontrak proyek pembuatan kartu tanda penduduk pada 1996.

Kasus terbesar yang pernah terjadi dengan menggunakan undang undang anti-korupsi untuk warga non-AS (FCPA) melibatkan perusahaan energi nasional Brasil, Petrobas. Kasusnya diduga berkaitan dengan penyuapan senilai US$ 853,2 juta. Itu ditangani AS setelah ditemukan Petrobas mengakses pasar saham di AS sehingga itu disebut menjadi wilayah hukum AS.

Karena jangkauan luas FCPA itu, maka itu memungkinkan AS menyidik kasus korupsi baik yang melibatkan secara langsung orang, perusahaan AS maupun yang tidak. Dalam beberapa dekade, apa yang sekarang dilakukan AS itu merupakan bagian dari sanksi ekonomi yang menjadi perpanjangan dari kebijakan luar negeri AS.

Sanksi ekonomi selama bertahun-tahun digunakan untuk mengisolasi negara-negara seperti Kuba, Rusia, Korea Utara, Sudan dan Suriah. FPCA berbeda dengan sanksi ekonomi yang dirancang secara politis dan terbuka untuk menekan rezim yang ditargetkan AS. Tidak hanya perusahaan maupun individual yang dilarang melakukan perdagangan dengan lembaga AS. Karena dominasi dolar AS, maka ada embargo tidak resmi juga dikenakan kepada negara lain yang diketahui melakukan perdagangan dengan negara yang dikenai sanksi.

Itu terjadi terhadap Deutsche Bank pada 2015 yang dikenai denda senilai US$ 258 juta karena ketahuan berbisnis dengan Iran dan Suriah. Kendati Deutsche adalah milik Jerman, tapi faktanya mereka punya bisnis di AS dan menggunakan dolar sehingga harus mematuhi sanksi AS. Dan sanksi itu selalu digunakan sebagai alat politik serta lebih agresif dalam beberapa tahun terakhir.

Pada tahun ini AS menargetkan sanksi ekonomi kepada perusahaan teknologi Tiongkok ZTE setelah diketahui melanggar embargo perdagangan karena berbisnis dengan negara-egara yang terkena sanksi. Ketika ketegangan geopolitik semakin meningkat, mungkin saja perusahaan-perusahaan Tiongkok akan juga menjadi target selanjutnya.

Perang dagang dan beberapa hal lainnya tidak bisa dilepaskan dari kasus penangkapan Direktur Keuangan Huawei Meng. Perang dagang merupakan cara AS untuk “memerangi” cara Tiongkok yang kini mulai mampu menciptakan teknologi tingkat tinggi. Dan AS tentu saja serius setelah Tiongkok bisa mendapatkan cara lain untuk membangun teknologi tingkat tinggi. [KRG]