Ktut Tantri (foto: Natgeo Indonesia)

Koran Sulindo – 10 November 1945, di tengah bom dan peluru mortar yang berjatuhan di sekitar pemancar Radio Pemberontakan, di Surabaya, ada seorang wanita dengan lantang membacakan pidato berbahasa Inggris.

Ia adalah Muriel Stuart Walker yang dikenal sebagai penyiar radio di Republik Indonesia pada saat Revolusi Nasional Indonesia.

Muriel, seseorang gadis berambut merah, dengan badan pendek untuk ukuran orang bule. Lahir pada 18 Februari 1899 di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya. Satu-satunya anak dari pasangan asal Pulau Man, James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle. Sebelum Muriel lahir, ayahnya wafat karena demam tropika ketika melakukan ekspedisi arkeologi ke Afrika.

Ktut Tantri (foto : goodnewsfromindonesia.id)

Muriel Stuart Walker berimigrasi bersama dengan ibunya ke California setelah Perang Dunia Pertama. Pada 1932, ia meninggalkan Amerika Serikat untuk memulai hidup baru di sebuah pulau di Indonesia yang bernama Bali.

Hal tersebut berawal sekeluarnya ia dari bioskop setelah menyaksikan sebuah film berjudul “Bali: The Last Paradise,” perempuan itu seperti menemukan hidup. Hanya beberapa menit seusai film itu ditonton, ia sudah punya keputusan bulat: pergi dan menetap di Bali.

Hal itu ia ungkapkan dengan gamblang dalam bukunya, “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960. “Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul “Bali, The Last Paradise“. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri.

“Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya.

Beberapa waktu berselang Muriel sampai di Batavia. Kemudian dengan bermobil menyusuri pesisir utara Jawa sampai ke Pulau Bali. Di pedalaman tanah para dewata, demikian kisahnya, ia disambut baik oleh Raja Bangli Anak Agung Gede dan anak lelaki semata wayangnya yang bernama Anak Agung Nura.

Sang Raja mengangkatnya sebagai anak keempat, dan memberinya nama Ktut. Dia menetap di Bali sejak 1934 hingga jelang kedatangan Jepang.

‘Surabaya Sue’. Begitu pers di Singapura, Australia dan di belahan bumi lain mengenalnya. Julukan itu melekat pada dirinya karena pilihan untuk lebih memilih berjuang membantu rakyat Indonesia yang menginginkan kemerdekaan total.

Di Surabaya ia dikenal sebagai penyiar dari radio yang dioperasikan para pejuang arek-arek Suroboyo pimpinan Bung Tomo. Ketika di Surabaya pecah pertempuran November, ia berada di tengah para pejuang Indonesia dengan semangat kemerdekaan.

Di Radio Pemberontakan yang legendaris itu, Bung Tomo dan Ktut Tantri punya jadwal siaran berbarengan, dua kali tiap malam. Ktut Tantri siaran dalam bahasa Ingris.

Tugasnya memberikan penjelasan kepada orang yang berbahasa Inggris di dunia mengenai kisah pejuang bangsa Indonesia. Baginya dunia harus mendengarkan kebenaran dari perjuangan tujuh puluh juta rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari semua dominasi asing.

Baca juga Pertempuran Surabaya dan Dilema Tentara India

Perkenalannya dengan dunia politik sebenarnya dimulai oleh diskusi-diskusinya yang intens dengan Anak Agung Nura, putra tertua Raja yang mengangkatnya anak. Nura adalah pangeran Bali yang pernah mengecap pendidikan di Leiden dan Universitas Heidelberg di Jerman.

Aktivitas bawah tanah serta keteguhan sikapnya selama interogasi dan penyiksaan oleh tentara Jepang sungguh luar biasa, dan ia memilih untuk tetap berjuang bersama Indonesia.

Sewaktu pemerintahan Indonesia pindah ke Jogja, Ktut Tantri pun pindah ke Jogja. Di sana ia bekerja pada kantor Menteri Pertahanan yang ketika itu dijabat oleh Amir Syarifuddin. Ia pernah menuliskan pidato Soekarno. Sekali waktu ia menjadi seorang agen spionasi yang berhasil menjebak komplotan pengkhianat.

Kesetiaannya yang tanpa cela membuat Ktut dipilih pergi ke Singapura dan Australia untuk melakukan kampanye menggalang solidaritas internasional.

Tanpa visa dan paspor, dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang Inggris yang frustasi, Ktut berhasil lolos dari blokade kapal laut Belanda. Dari Singapura ia pergi ke Australia untuk menggalang dana, melakukan propaganda agar (rakyat) Australia memboikot Belanda.

Baca juga Bung Karno dan Soempah Pemoeda

Ktut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947. Pada November 1998, pemerintah Indonesia memberi pernghargaan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950.

Ktut Tantri yang aslinya memiliki darah bangsa Viking tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan itu meninggal dunia di sebuah panti jompo di pinggiran Kota Sidney, Australia, di mana ia menjadi permanent resident sejak 1985.

Dalam buku catatan hariannya sebelum meninggal ia menulis: “Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia, mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun Indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali.” [Nora E]