Pencitraan palsu dengan memberi kesan ramah lingkungan alias greenwashing sering diperbincangkan belakangan ini. Ini bermula saat aktivis iklim Greta Thunberg dalam wawancaranya dengan majalah Vogue menyebut banyak perusahaan mode-cepat menggunakan strategi “greenwashing” untuk mengambil simpati konsumen.
Di dunia pemasaran, greenwashing dikenal sebagai strategi komunikasi atau pemasaran satu perusahaan untuk memberikan citra ramah lingkungan, baik dari segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan. Padahal, perusahaan itu tidak benar-benar melakukan kegiatan yang berdampak bagi kelestarian lingkungan.
Dalam sebuah unggahan di media sosial Instagram, Thunberg baru-baru ini menampilkan foto dirinya untuk sampul edisi pertama Vogue Scandinavia. Dalam keterangan unggahan tersebut Thunberg berbicara tentang kontradiksi antara mode produksi massal dan fesyen keberlanjutan.
“Banyak yang membuat seolah-olah industri fesyen mulai mengambil tanggung jawab,” tulis Thunberg. Mereka menghabiskan sejumlah dana fantastis untuk kampanye di mana mereka menggambarkan diri mereka sebagai perusahaan berkelanjutan, etis, hijau, netral iklim, dan adil.
“Tapi mari kita perjelas, hampir tidak pernah sungguh-sungguh ada (perusahaan yang ramah lingkungan), selain murni greenwashing,” lanjutnya. “Anda tidak dapat memproduksi fesyen secara massal atau mengkonsumsi produk berkelanjutan karena dunia (fesyen) saat ini dibentuk tidak benar-benar untuk itu. Itulah salah satu dari banyak alasan mengapa kita membutuhkan perubahan sistem.”
Dia menyebut industri fesyen sebagai penyumbang besar terjadinya keadaan darurat iklim dan ekologi. Dampaknya terhadap pekerja dan komunitas juga tak terhitung jumlahnya. Mereka dieksploitasi di seluruh dunia agar beberapa orang dapat menikmati mode-cepat, dan mereka hanya memperlakukan mode ini sebagai sekali pakai saja.
Karena itu, pegiat lingkungan hidup sekaligus pendiri The Earthkeeper Indonesia Teguh Handoko mengajak masyarakat untuk bersikap kritis sebelum membeli produk atau jasa yang diklaim sebagai produk ramah lingkungan. “Kita sebagai konsumen harus betul-betul kritis sebelum melakukan pembelian,” kata Teguh dalam peluncuran “Ngopi Membumi”.
“Jangan sampai kita tertipu, lakukan riset kecil seperti pengecekan di Google. Jangan lantas percaya pada logo atau emblem yang tercantum pada produk tersebut,” kata Teguh mengingatkan.
Dia mengakui saat ini banyak konsumen lebih memilih membeli produk atau jasa yang betul-betul ramah lingkungan. Sementara itu, sebagian besar produk yang mengklaim diri mereka ramah lingkungan juga kerap mencantumkan label atau tanda bahwa produk mereka dapat di daur ulang serta ramah lingkungan.
Lebih lanjut Teguh menyarankan konsumen untuk memeriksa produk atau jasa yang hendak dibeli melalui situs resmi atau mencari rekomendasi lainnya di mesin pencari Google. Menurut Teguh, ini penting dilakukan, mengingat sejumlah kasus yang beredar terkait perusahaan yang mengklaim produk barang dan jasa mereka sebagai ramah lingkungan, namun ternyata tidaklah demikian. [AT/ant]