Koran Sulindo – Berbagai belahan dunia memeringati seabad Revolusi Oktober dengan berbagai cara. Ada yang mengadakan seminar untuk “membedah” Revolusi Oktober untuk memetik semangatnya yang masih relevan hingga hari ini. Di Amsterdam, misalnya, sebuah konferensi rakyat digelar untuk memeringati 100 tahun Revolusi Oktober.
Konferensi yang digelar pada medio September lalu, diikuti berbagai negara mulai dari Amerika Serikat (AS) hingga Indonesia dengan mengambil tema Validitas Abadi Revolusi Oktober. Selain Vladimir Lenin dan beberapa tokoh lainnya, Joseph Stalin juga tokoh yang ikut mengobarkan Revolusi Oktober 1917. Mengutip notulen rapat Komite Sentral pada 10 Oktober 1917, Tatiana Lukman dalam bukunya Trotskyisme? Sosialisme di Satu Negeri atau Revolusi Permanen menyebut Stalin sebagai salah satu orang yang setuju melancarkan pemberontakan senjata pada 1917.
Akan tetapi, di Rusia, Presiden Vladimir Putin mengambil langkah yang bertentangan yaitu meresmikan monumen pertama sebagai peringatan atas “korban-korban” “kekejaman” Joseph Stalin. “Korban-korban” di bawah “diktator” komunis, kata Putin.
Seperti yang dilaporkan BBC pada akhir Oktober lalu, Putin menyebut sedikitnya ada sekitar 750 ribu orang yang dibunuh dan jutaan orang diusir atau dipenjarakan di bawah pemerintahan Stalin sejak 1920-an hingga 1950-an. Agar kejadian serupa tidak terulang, maka dibangunlah monumen itu. “Ini akan membantu untuk mencegah kejadian serupa,” tutur Putin seperti dikutip BBC.
Apa yang dilakukan Putin ini memunculkan beberapa pertanyaan dan membuka kembali perdebatan mengenai “kekejaman” Stalin itu. Mungkin ada dua pertanyaan penting yang perlu diajukan atas tindakan Putin itu. Pertama, mengapa Putin membangun monumen tersebut? Kedua, benarkah Stalin melakukan “kekejaman” seperti yang dituduhkan Putin dan Barat?
Sejak beberapa tahun terakhir, faktanya Stalin dianggap sebagai tokoh yang paling penting di Rusia dan dalam sejarah dunia dibanding tokoh-tokoh lainnya termasuk Putin. Laporan Washington Post pada Juni lalu, menyebutkan melalui sebuah jajak pendapat oleh Levada Center dengan jumlah responden 1.600 orang Rusia, mereka diminta menuliskan sekitar 10 nama yang paling berpengaruh dalam sejarah Rusia dan dunia.
Tanpa disangka, sekitar 38 persen responden menuliskan nama Stalin. Selanjutnya sekitar 34 persen responden menuliskan nama Putin. Seperti Putin, jumlah yang sama diperoleh Alexander Pushkin, penyair kenamaan pada abad ke-19 dan acap digelari sebagai “Shakespeare” dari Rusia. Hasil yang dicapai Putin itu disebut tertinggi sejak ia berkuasa 17 tahun lalu. Berbeda dengan Stalin, sejak 2012, namanya melambung bahkan dalam hasil survei Levada Center pada tahun itu, Stalin mencapai 42 persen sebagai tokoh yang paling berpengaruh di dunia.
Sebelumnya, sebuah tulisan di The Independent menyebutkan, melalui sebuah survei Levada Center pada akhir 2006, sekitar 47 persen masyarakat Rusia memandang Stalin sebagai tokoh positif. Hanya 29 persen masyarakat Rusia memandang Stalin dengan negatif. Ketokohan Stalin dianggap semakin penting ketika dihubungkan dengan Perang Patriotik Raya dalam Perang Dunia II melawan Nazi di bawah Adolf Hitler.
Lalu, bagaimana pendapat Putin terhadap Stalin? Kendati pada akhir Oktober lalu ia meresmikan monumen yang disebut sebagai peringatan akan “kekejaman” Stalin, Putin tidak pernah benar-benar setuju atas tuduhan terhadap Stalin. Ia bahkan pernah mengatakan, Stalin tidak seburuk yang digambarkan banyak orang.
Apa yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dengan menjatuhkan bom atom ke Jepang dan Vietnam jauh lebih buruk ketimbang “kekejaman” Stalin. Bahkan pada era Putin pula kemenangan Perang Dunia II di bawah Stalin dijadikan sebagai hari libur nasional. Dengan kata lain, popularitas Stalin melambung justru terjadi selama delapan tahun terakhir di bawah kepemimpinan Putin.
Robert Conquest
Lalu, bagaimana dengan tuduhan terhadap Stalin yang “kejam” dan melakukan “pembunuhan” pada periode 1930-an hingga 1950-an? Umumnya, selama bertahun-tahun masyarakat dunia percaya atas tuduhan tersebut. Adalah sejarawan – juga agen rahasia – Inggris Robert Conquest yang disebut sebagai orang pertama yang mengungkapkan “kekejaman” Stalin. Bukunya berjudul The Great Terror kemudian menjadi pedoman bagi banyak peneliti dan warga dunia untuk mempercayai “kekejaman” yang dilakukan Stalin. Benarkah demikian?
Seorang profesor dari Montclair State University, AS, Grover Furr telah membaca karya Conquest itu sejak 1970. Menurut Tatiana dalam bukunya, karya Conquest itu mengesankan Furr sekaligus memunculkan banyak pertanyaan. Sebelumnya, ketika masih menjadi mahasiswa pada 1965 hingga 1969, Furr terlibat dalam aksi anti-perang Vietnam di negaranya. Pada suatu waktu, seseorang mengatakan kepadanya: “orang-orang komunis Vietnam tidak mungkin ‘orang-orang yang baik’, karena semua mereka adalah Stalinis dan Stalin membunuh jutaan orang tak berdosa.”
“Kata-kata itu terukir dalam otaknya,” tulis Tatiana. Sejak saat itu, Furr membaca dan memeriksa secara teliti karya Conquest. Dari penelitiannya itu, ia menghasilkan karya yang di antaranya menjadi best-seller berjudul Khruschov Lied yang terbit pada 2011. Sejak itu ia menjadi peneliti sejarah Uni Soviet. Buku lain yang diteliti Furr adalah Bloodlands Europe Between Hitler and Stalin karya Timothy Snyder. Dalam buku itu, Snyder menyamakan Stalin dengan Hitler. Namun, setelah diperiksa Furr semua tuduhan Snyder kepada Stalin adalah palsu. Hanya kebohongan karena tanpa didukung bukti-bukti yang valid.
Berkaitan dengan periode 1930-an yang disebut sebagai masa “kekejaman” Stalin, Furr justru menemukan keterlibatan Nikolai Ezhov, Kepala Polisi Rahasia Uni Soviet yang disebut dengan NKVD. Pada periode 1936 hingga 1938 Ezhov menjabat sebagai Komisaris Rakyat untuk Urusan Dalam Negeri. Ia disebut terlibat konspirasi menentang Partai Komunis dan pemerintahan Uni Soviet. Ia masuk Partai Bolshevik pada 1917. Bekerja sebagai dinas rahasia Polandia selama 10 tahun. Ketika berada di Wina, Austria untuk berobat pada 1934, Ezhov direkrut oleh Profesor Norden dari dinas rahasia Jerman.
Seperti tokoh kanan dan Trotsky, Ezhov bersama dengan pejabat NKVD justru mengharapkan agresi Jerman, Jepang atau negeri kapitalis besar lainnya. Mereka menyiksa banyak orang untuk memberikan keterangan palsu. Ezhov bersama gengnya mengeksekusi sekitar 680 ribu orang yang tidak bersalah pada periode 1937 hingga 1938. Tujuannya adalah menanamkan kebencian terhadap Partai Komunis dan pemerintah Soviet.
Kisah Ezhov lalu terbongkar. Tepatnya pada 7 November 1938 manakala mereka merencanakan membunuh Stalin. Penyelidikan dilakukan. Ezhov mengeksekusi banyak orang tanpa sepengetahuan partai dan pemerintah. Stalin memerintahkan penyelidikan terhadap orang-orang yang ditangkapi Ezhov. Sekitar 100 ribu orang dibebaskan dari penjara dan kamp kerja paksa. Dari jumlah sekitar 680 ribu orang itu sesungguhnya belum diketahui berapa orang yang benar-benar konspirator dan berapa masyarakat yang tidak bersalah.
Dokumen mengenai pengadilan terhadap Ezhov dan pejabat lainnya telah dibuka ke publik sejak 2005. Tapi, entah mengapa peneliti anti-komunis di Rusia dan Barat tetap mengabaikan hal tersebut. Seperti Putin, mereka lebih suka mempercayai propaganda bahwa Stalin adalah seorang “diktator”. Berdasarkan beberapa fakta ini, peresmian monumen korban “kekejaman” Stalin boleh jadi karena Putin tidak mau mengungkap kebenaran. Juga mungkin saja ia “cemburu” Stalin jauh lebih populer ketimbang dirinya. [Kristian Ginting]