Di sebuah sudut tenang Sulawesi Selatan, tersembunyi sebuah desa adat yang tak hanya menyimpan keindahan budaya, tetapi juga membungkus kisah hidup dan mati dalam balutan tradisi yang tak lekang oleh waktu. Desa itu bernama Ke’te Kesu, terletak di Kampung Bonoran, Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara. Desa ini bukan sekadar permukiman tua, ia adalah tapal batas antara dunia yang fana dan yang abadi, di mana kematian dirayakan dengan penuh hormat dan keindahan.
Daya tarik utama Ke’te Kesu adalah sistem pemakaman adat Toraja yang menakjubkan. Di balik desa, menjulang tebing batu dan gua-gua kuno yang dijadikan sebagai tempat peristirahatan terakhir. Peti mati digantungkan di sisi tebing atau dimasukkan ke dalam ceruk gua. Pemandangan ini mungkin menggetarkan bagi sebagian orang, namun di mata masyarakat Toraja, itu adalah wujud kasih sayang tertinggi bagi orang yang telah pergi.
Beberapa makam bahkan telah “dimodernisasi” dengan bangunan permanen menyerupai rumah, lengkap dengan foto-foto keluarga yang telah dimakamkan. Meski unsur kontemporer menyelinap, makna penghormatan terhadap leluhur tetap terjaga dengan utuh.
Tongkonan: Rumah, Status, dan Identitas
Ke’te Kesu juga dikenal karena deretan Tongkonan, rumah tradisional Toraja yang berdiri megah dengan atap melengkung menyerupai perahu besar. Dilansir dari berbagai sumber, Tongkonan tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, melainkan juga simbol status sosial. Tanduk-tanduk kerbau yang dipasang tinggi di fasad rumah menunjukkan kekayaan dan kedudukan pemiliknya, sementara ukiran-ukiran yang menghiasi dinding menjadi penanda keindahan sekaligus silsilah.
Namun, tidak semua orang dapat membangun Tongkonan. Hanya mereka yang berasal dari garis keturunan bangsawan yang berhak memilikinya. Warga biasa tinggal di rumah yang lebih sederhana, tanpa ukiran rumit ataupun simbol status mencolok. Di desa ini, hierarki sosial terukir bahkan pada hunian.
Salah satu Tongkonan di Ke’te Kesu kini telah diubah menjadi museum. Di dalamnya tersimpan benda-benda bersejarah yang merekam perjalanan panjang adat dan budaya Toraja: keramik Tiongkok, patung kayu, senjata tradisional seperti belati dan parang, hingga bendera pertama yang pernah dikibarkan di Toraja. Museum ini tak hanya menyimpan artefak, tapi juga menjadi ruang edukatif melalui workshop seni, terutama kerajinan bambu, yang terbuka bagi para pengunjung.
Tak jauh dari desa, berdiri Bukit Buntu Ke’su, sebuah bukit mistis yang diyakini sebagai situs pemakaman tertua di wilayah ini—berusia sekitar 700 tahun. Di tengah sawah, batu menhir berdiri menjadi penanda jalan menuju bukit. Di jalur bebatuannya, berserakan tengkorak dan tulang manusia, beberapa di antaranya tertata dalam bejana besar berbentuk sampan.
Tebing bukit dipahat untuk menjadi makam vertikal. Menurut kepercayaan setempat, semakin tinggi tempat seseorang dimakamkan, semakin mudah roh mereka menuju alam keabadian. Mereka yang berdarah bangsawan ditempatkan di puncak tebing, sedangkan rakyat biasa di bagian bawah. Struktur sosial bahkan tetap berlaku hingga ke alam baka.
Seni, Kepercayaan, dan Pelestarian
Kekayaan seni masyarakat Ke’te Kesu juga tercermin pada peti mati yang digantung di tebing. Peti-peti ini diukir dengan presisi dan cita rasa tinggi, menunjukkan keterampilan warga yang diwariskan secara turun-temurun. Ornamen pada batu dan bambu di desa ini bukan hanya dekorasi, tapi juga simbol, dengan pola abstrak dan geometris yang memiliki makna spiritual.
Namun, modernisasi membawa tantangan. Untuk mencegah pencurian tau-tau, atau patung perwujudan arwah leluhur, beberapa makam kini telah diberi jeruji besi. Ini sekaligus mencerminkan bagaimana masyarakat berusaha menjaga warisan mereka dari tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Dengan usia yang diperkirakan mencapai 400 tahun dan tanpa banyak perubahan sejak pertama kali berdiri, Ke’te Kesu adalah monumen hidup warisan budaya Toraja. Di sini, kematian bukan akhir, melainkan babak baru dalam kisah panjang hubungan antara manusia, leluhur, dan semesta. Sebuah tempat di mana tradisi tetap berdetak, dan sejarah terus bernapas dalam ritme ukiran, tebing, serta ritual suci yang tak pernah padam. [UN]