Koran Sulindo – Melepaskan kepergian tentara Singasari menuju negeri Melayu, Nagarakretagama menulis dengan kalimat, “Mudah-mudahan negeri itu tunduk begitu saja, karena sangat takut kepada kekuasaan baginda.”
Dengan keberangkatan para tentara ke Melayu itu, praktik Singasari kosong tanpa penjaga. Keadaan ini memancing musuh-musuh lama mengincar negara itu.
Nagakretagama menulis tentang pemberontakan Mahisa Rangkah tahun 1280, lima tahun setelah keberangkatan Pamalayu.
Kekuatan Singasari yang menipis di kotaraja itu makin tipis ketika pada tahun 1284 Kertanagara menggagas Pabali.
Untungnya, Bali segera ditundukkan dan rajanya dibawa ke Singasari sebagai tawanan.
Dua di antara musuh Kertanagara yang paling bernafsu adalah Banyak Wedi alias Arya Wiraraja dan Jayakatwang.
Wiraraja memendam sakit hati yang sangat ketika ia dicopot dari jabatannya oleh Kertanagara dan dipindah ke Sumenep. Ia ingin menggunakan Jayakatwang untuk melampiaskan dendam.
Kidung Harsa Wijaya menyebut pembalasan dendam itu semata-mata hanya ditujukan kepada Kertanagara, bukan kepada Singasari. Banyak Wide jelas bersimpati pada Wijaya sebagai keturunan Narasinga.
Ia juga berharap jika Jayakatwang berhasil menggulingkan Kertanagara, Banyak Wide jelas akan membantu Wijaya menggulingkan Jayakatwang.
Slamet Mulyana dalam Menuju Puncak Kemegahan menyebut permainan yang digagas Banyak Wide ini sangat berbahaya dan ini yang diperingatkan Wirondaya, anak Banyak Wide.
Kepada ayahnya ia menyebut Singasari masih memiliki orang-orang terkemuka seperti Nambi, Sora, Lembu Peteng, Dangdi, Gadjah Pagon yang disebutnya sebagai orang-orang kuat dan berpengaruh. Banyak Wide tak bergeming.
Suratnya kepada Jayakatwang yang ditulis 1292 dengan bahasa penuh kias Banyak Wide menulis, “Patik memberitahukan ke hadapan sang prabu. Paduka raja sedang berburu, hendaklah waspada memilih saat dan tempat yang setepat-tepatnya.”
Ini adalah tenggara agar Jayakatwang segera bergerak menyerbu Singasari.
“Pergunakanlah saat yang sebaik-baiknya. Sekarang inilah saat yang paling baik dan paling tepat. Tegal sedang tandus, tidak ada rumput, tidak ada lalang, daun-daun sedang gugur berhamburan di tanah,” tulis Banyak Wide.
Mendapat lampu hijau dari pendukung utamanya, Jayakatwang bergerak. Kepada Patih Mundarang ia memerintahkan agar pasukannya dibagi dua.
Dari utara Senapati Jaran Guyang menyerang Singasari dibantu Bango Dolog, Prutung, Pencok. Sementara Patih Mundarang memimpin langsung pasukan utama dari selatan.
Melintas sawah membawa kereta, benda, gong dan tunggul, Jaran Guyang berhenti di Desa Memeling dan membuat keributan. Kalah terlatih, penduduk segera dikalahkan dan melarikan diri mengungsi ke kota Singasari.
Menyaksikan pengungsi tak putus mengalir dari utara, Kertanagara memanggil Wijaya yang segera diperintahkan membendung musuh di Memeling.
Ini memang yang direncanakan Jayakatwang.
Khawatir Wijaya kewalahan menghadapi musuh, Kertanagara memerintahkan Patih Anengah menyusul untuk membantunya. Putusan itu ditentang Adhyaksa Raganata dan Mantri Angabaya Wirakreti yang menyayangkan kosongnya kota.
Sayang, nasihat itu diabaikan Kertanagara yang memilih tetap tinggal di pura ‘mengenyam’ kenikmatan hidup. Baginya tak pernah ada bahaya mengancam.
Kertanagara baru kaget ketik Patih Angrgani menghadap dan mengabarkan tentara Kadiri memasuki pura dari selatan melalui Lawor terus ke Sidabawana.
Dalam Kidung Harsa Wijaya, Raganata memberi nasihat kepada Kertanagara bahwa mati raja yang terbunuh musuh di kaputren adalah nista dari segala nista. “Lawanlah musuh yang sedang menyerang,” kata Raganata.
Hanya kali ini saja, Kertanagara menurut pada Raganata. Ditemani Panji Anggaragani, Raganata dan Mantri Angabaya Wirakreti, Kertanagara gugur dalam pertempuran yang gigih.(TGU)