Foto pertama candi Borobudur yang diambil oleh Van Kinsbergen.

Koran Sulindo – Nasib lempeng batu setinggi melebihi orang dewasa itu sangat mengenaskan. Tak hanya cuma terjebak di gudang gelap yang kumuh, di  tanah asing jauh dari asal-usulnya sebagian besar pahatan aksaranya itu bahkan mulai terdegradasi akibat penyimpanan yang tidak layak.

Lempeng yang dikenal sebagai Calcutta Stone itu, sendiri dan terlupakan oleh kecelakaan sejarah yang keji.

Thomas Stamford Raffles yang membawanya sebagai persembahan kepada tuannya Gubernur Jenderal India Lord Minto di Kalkuta. Bersama Sangguran Stone, lempeng batu itu dikumpulkan Kolonel Colin Mackenzie selama perjalanan singkatnya di Jawa Timur.

Jika Sangguran Stone bernasib lebih baik karena dibawa ke tanah leluhur Lord Minto di Roxburghshire perbatasan Skotlandia, Calcutta Stone tetap tersesat di India.

Di sini kita mengenal lempeng batu yang malang itu sebagai Prasasti Pucangan.

Mengabaikan nasibnya yang tragis, Prasasti Pucangan adalah catatan sejarah yang akurat dan mendetail tentang awal masa pemerintahan Airlangga di Kahuripan, sebuah kerajaan yang dianggap sebagai penerus Medang atau Mataram Kuno.

Bersama Sangguran Stone, Prasasti Pucangan itu menjadi satu-satunya catatan kronologis prestasi hingga silsilah keluarga Airlangga yang membentang hingga empat abad ke belakang.

Di Jawa, Raja Airlangga merupakan sosok raja yang sangat terkenal dan begitu dicintai. Ia bahkan disandingkan dengan Arjuna, si penengah Pandawa ketika Mpu Kanwa menggubah sebuah puisi yang kelak menjadi prototipe puisi klasik Jawa, Arjuna Wiwaha.

Kisah itu sekaligus merupakan cara Mpu Kanwa mengabadikan Airlangga sebagai teladan luar biasa bagi keturunan-keturunannya.

Baca juga :

Tentu saja membayangkan Airlangga sebagai Arjuna hanya menggiring pikiran dan membiakkan mitos. Karena bagaimanapun Arjuna Wiwaha adalah gabungan angan-angan, puja-puji dan imajinasi Mpu Kanwa tentang kebajikan Ailangga.

Berbeda dengan Arjuna Wiwaha, Prasasti Pucangan selain menulis silsilah yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno juga menggambarkan penghancuran Medang dalam Mahapralaya atau malapetaka besar.

Mahapralaya menceritakan era pemerintahan Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa raja terakhir Medang yang memerintah di era 991–1007 atau 1016.

Lebih spesifik Mahapralaya berkisah tentang serangan dari Haji Wurawari dari Lwaram atas istana Medang di Wwatan. Is tilah haji dalam bahasa Jawa Kuno kala itu bermakna sebagai ‘raja bawahan’.

Calcutta Stone atau Prasasti Pucangan terbengkalai di gudang Museum Kalkuta, India

Serangan itu berlangsung di saat Dharmawangsa Teguh tengah menggelar pesta penikahan Airlangga yang kala itu baru berusia 16 tahun dengan Dewi Laksmi, putri sulung Dharmawangsa.

Itu adalah pernikahan semenda karena, Airlangga merupakan anak Mahendradatta, kakak kandung Dharmawangsa yang diperistri Raja Udayana dari Bali. Baik Mahendradatta maupun Dharmawangsa adalah anak Makuthawangsawardhana, Raja Medang.

Serangan di tengah pesta itu selain menghancurleburkan istana Medang juga membunuh Dharmawangsa sekaligus membuat Airlangga terlunta-lunta dalam pelarian hanya berteman pengikut-pengikutnya yang setia termasuk Narotama.

Wurawari yang besar kepala, berani menyerang Medang karena sokongan Sriwijaya yang sakit hati atas berkali-kali serangan Darmawangsa ke Sumatra termasuk ketika mereka menguasai Palembang pada tahun 992.

Sriwijaya di Sumatra dan Medang di Jawa adalah seteru bebuyutan bahkan sejak era Galuh yang terus diwariskan pada masing-masing generasi penerusnya.

Butuh tujuh tahun penuh bagi Airlangga yang sepanjang pelariannya berjuang menyatukan kerajaan warisan mertuanya dan mendirikan kerajaan baru bernama Kahuripan. Pada tahun 1019 berturut-turut Airlangga menaklukan vasal-vasal Sriwijaya di Jawa seperti Bisaprabhawa tahun 1029, Wijayawarman di Wengker tahun 1034 dan Adhamapanuda tahun 1031.

Tentu saja tak lupa Airlangga melumat Wurawari pada tahun 1035 sebagai hukuman atas serangan pengecutnya ke Medang.[TGU]

Baca juga :