Koran Sulindo – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly menyatakan, pemerintah akan bekerja cepat usai ditandatanganinya perjanjian hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance/MLA) antara pemerintah Indonesia dan Konfederasi Swiss. Penandatanganan perjanjian berlangsung pada Senin (4/2/2019) di Bernerhof Bern, Swiss.
Menurut Yasonna, target pemerintah bukan hanya penggelapan pajak, tetapi juga aset dan kekayaan hasil pelanggaran pidana di Indonesia yang disimpan di Swiss. Dalam implementasinya, Kemenkumham bekerja sama dengan penegak hukum, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, Kejaksaan, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Bukan hanya hasil penggelapan pajak, tetapi penghasilan dari perbuatan melanggar hukum pidana, seperti korupsi dan lainnya. Kita bersama penegak hukum akan mengumpulkan daftar pihak yang mempunyai aset tersebut dari berbagai sumber informasi,” kata Yasonna, di Jakarta, Kamis (7/2/2019), melalui rilis media.
Kemenkumham akan membuat roadmap agar pelaksanaan dari perjanjian dengan Swiss itu berjalan komprehensif. Yasonna menegaskan, seusai menghadiri Konferensi Internasional Access to Justice yang dihadiri 29 negara dan 6 organisasi internasional di Den Haag, dirinya akan menghadap Presiden Joko Widodo untuk melaporkan dan meminta arahan.
“Bila perlu, beri reward kepada orang-orang yang memberi informasi akurat dan teruji tentang keberadaan aset haram di Swiss,” ujarnya.
Negosiasi perjanjian MLA antara Indonesia – Swiss sudah melalui tahapan panjang dan pada 2014 pemerintah Swiss bersedia berunding dengan Indonesia. Pertimbangan Indonesia melobi agar dilakukan perundingan tersebut karena Swiss merupakan salah satu pusat keuangan dunia di Eropa yang sering dimanfaatkan pelaku tindak pidana untuk menyimpan uangnya di bank-bank Swiss atau menginvestasikannya di berbagai produk investasi keuangan lembaga keuangan dan investasi di Swiss.
Adapun Pemerintah Swiss berkomitmen memastikan segala bentuk aset yang ditempatkan di Swiss merupakan aset-aset yang sah dari kegiatan bisnis yang sah. Dengan semangat tersebut, Indonesia-Swiss melakukan perundingan tahap pertama di Bali pada 28-30 April 2015, dengan Ketua Juru Runding Delegasi Indonesia adalah Cahyo Rahadian Muzhar (Direktur Hukum Internasional dan Otoritas Pusat, Kemenkumham) serta Delegasi Swiss diketuai Mario Affentranger (Head of International Treaties Division) dan Laurence Fontana Jungo.
Dalam perundingan tersebut, Delegasi Indonesia terdiri dari perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, Kejaksaan Agung, Polri, KPK, PPATK, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan KBRI Bern.
Perundingan putaran kedua dilaksanakan di Bern, Swiss pada 30-31 Agustus 2017 guna menyelesaikan pembahasan. Pada perundingan putaran kedua, Delegasi Indonesia dipimpin Cahyo Rahadian Muzhar dan Delegasi Swiss dipimpin Laurence Fontana Jungo (Chief Negotiator MLA Treaties, International Treaty Unit, Swiss Federal Office of Justice).
Perjanjian MLA Indonesua-Swiss merupakan perjanjian paling komprehensif dan mencakup aturan umum dalam sistem hukum kedua negara dan konvensi internasional, serta secara khusus mengenai penindakan kejahatan keuangan (fiscal matters) berupa pelacakan, pembekuan dan perampasan hasil tindak pidana keuangan.
Perjanjian MLA ini meliputi tahap penyidikan, penuntutan dan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Aparat penegak hukum dapat meminta bantuan dalam rangka mendukung penyidikan (memperoleh informasi terkait keberadaan aset, keberadaan seseorang, membekukan dan menyita aset hingga merampas aset sebagai pelaksanaan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum).
“Jika dalam tahap penyidikan diperoleh indikasi awal seorang tersangka menyimpan uang hasil tindak pidana korupsi ke bank di Swiss maka Indonesia dapat meminta pihak Swiss memberikan informasi terkait keberadaan uang tersebut dan membekukannya hingga proses hukum berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Menurut Menkumham, jika perkara ini pada akhirnya yang menghasilkan putusan yang merampas aset hasil tindak pidana di Swiss maka putusan pengadilan di Indonesia tersebut dapat dieksekusi di Swiss melalui proses MLA.
Swiss juga menyepakati usulan Indonesia tentang prinsip retroactivity yang memungkinkan pelaksanaan putusan berkekuatan hukum tetap sebelum ditandatangani dan berlakunya perjanjian MLA.
“Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum ditandatanganinya dan berlakunya Perjanjian MLA ini,” katanya.
Adapun pihak Swiss mengusulkan pasal-pasal yang mengatur perlindungan HAM bagi tersangka dan terpidana sebagaimana diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR 1966). Selain itu, pihak Swiss mengusulkan fitur pelindungan data pribadi yang merupakan bentuk dari implementasi European Union Directive.
Kedua negara juga menyepakati perjanjian dapat diimplementasikan secara efektif tanpa bertentangan dengan komitmen Indonesia maupun Swiss pada perjanjian dengan negara lain.
“Dengan ditandatanganinya Perjanjian MLA RI-Swiss maka selanjutnya dengan dukungan DPR untuk melakukan ratifikasi menjadi kunci dapat segera berlakunya perjanjian tersebut,” kata Yasonna. [CHA]