Polarisasi di tengah masyarakat sekarang semakin tajam karena perbedaan pilihan politik, sehingga potensi konfliknya pun terlihat besar. Bagaimana Polri menyikapi situasi ini?
Ya, justru situasi yang seperti ini harus dihadapi dengan metode yang tenang. Masyarakat memang terpolarisasi dan masing-masing orang atau pihak ingin meraih kemenangan, tapi kita kan bukan bangsa yang baru pertama kali menyelenggarakan pemilihan umum. Kita telah menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955, sudah 11 kali. Jadi, insya Allah, Pemilu 2019 aman, bahkan jauh lebih aman daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Kami jamin keamanannya.
Mengapa bisa begitu yakin?
Kita harus melihat juga, meski terpolarisasi karena pilihan politik, masyarakat kita sekarang sudah semakin dewasa, masyarakat sudah dapat menilai mana yang motif yang benar-benar original dan mana yang bermuatan politik.
Tapi, di tengah masyarakat juga ada yang menilai, Polri tidak netral, meski pihak Polri sudah menegaskan sikap netralnya….
Ada memang masyarakat yang tidak suka terhadap polisi, di mana-mana ada. Jangankan dalam pesta demokrasi, dalam situasi “normal” pun sikap masyarakat yang seperti itu ada. Misalnya untuk hal yang kecil saja, menindak pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm, polisi bisa dibenci.
Karena, polisi melakukan upaya penegakan hukum. Ketika orang dihukum kan sebenarnya hak asasinya terampas, tapi itu dilakukan dalam koridor hukum, dengan tujuan mulia, untuk menyelamatkan orang banyak.
Jadi, tidak ada sama sekali polisi berpihak. Netralitas bagi polisi adalah harga mati. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian juga sudah menunjukkan komitmennya, bila ada perwira tinggi polisi yang tidak netral dalam hitungan jam akan di-nonjob-kan.
Belakangan ini, Polri sebagai bagian dari masyarakat sipil lebih tergambarkan sebagai penegak hukum, penindak kejahatan, bukan sebagai pengayom masyarakat. Pendapat Anda?
Kami justru lebih banyak menjalankan program pengayoman masyarakat. Contohnya sekarang ini kan banyak kasus ujaran kebencian. Itu lebih banyak yang kami ayomi. Terduga pelakunya lebih banyak yang kami panggil dan kami bina daripada yang kami lakukan penindakan hukum. Kami kan melihat latar belakang profilnya dulu. Kalau cuma iseng, misalnya, akan kami beri ruang orang itu untuk meminta maaf. Penegakan hukum kan hakikatnya keadilan, bukan teks, tapi konteks.
Contoh lain bisa kita temui sehari-hari dalam pelanggaran lalu-lintas. Para pelanggar itu lebih banyak yang kami tegur dan kami ingatkan daripada yang kami tindak. Jadi, lebih banyak yang kami ayomi. Tapi, penindakan hukum juga kami jalankan, karena harus ada efek deteren di situ.
Sebagai Kadiv Humas Polri, program apa yang akan Anda jalankan agar fungsi pengayom dari Polri semakin dirasakan masyarakat?
Begitu saya dilantik, saya sudah mengatakan, saya akan menjadikan Polri lewat Divisi Humas sebagai sistem pendingin, cooling system. Bukan hanya lewat narasi kami dan konteks-nya, tapi juga lewat gesture kami, harus dapat menyampaikan pesan-pesan yang sejuk. Kami yang di Divisi Humas Polri sebagai juru bicara ke publik kan mewakili 450 ribu personel Polri.
Itu sebabnya, kami melakukan berbagai upaya untuk mendesiminasi konten-konten positif dan memberikan klarifikasi. Juga tidak reaktif dalam menanggapi hal-hal yang kontroversial. Enggak perlu reaktif. Karena, sekarang ini kan tahun politik, situasinya situasi politik. Dalam politik kan kita tahu, satu tambah satu tak mesti dua dan Polri tak perlu terjebak dalam hal itu. Jadi, kami lebih banyak melakukan upaya cooling system.
Tindakan-tindakan lain di lapangan, 450 ribu polisi setiap hari melakukan upaya-upaya penyampaian pesan positif kepada masyarakat. Juga melakukan pendekatan ke seluruh elemen masyarakat. Itu terus dilakukan, sebagai bagian dari cooling system. Ini juga dilakukan Kapolri, dengan melakukan anjangsana, silaturahim, dan sebagainya. Karena, memang, kami menyadari benar, polisi tak bisa bekerja sendiri. Tidak akan optimal, tidak akan efisien dan efektif, jika polisi bekerja sendiri. Itu sebabnya juga kami menambah “pasukan” baru.
Pasukan baru seperti apa?
Pasukan baru kami, ya, masyarakat. Itu istilah saya. Kami melakukan pendekatan partisipatif. Jadi, tak ada hari tanpa penambahan pasukan baru untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sendiri. Kami pun lebih banyak menemui masyarakat. Bahkan, Pak Kapolri telah menyerukan kapolda-kapolda agar tidak berlama-lama di kantor, tapi harus lebih banyak ke lapangan, berada di tengah masyarakat. Begitu pula kapolres, kapolsek, dan seluruh kepala satuan. Kami semua harus menemui masyarakat dan mengajak masyarakat untuk menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban yang kondusif, sejuk, damai.
Begitu juga dengan tim pemenangan pemilu dari masing-masing pihak dan yang lain-lain, kami dekati. Kami mengajak mereka untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan kelompok. Jangan pecahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia demi kepentingan kelompok. Kami misalnya mengadakan deklarasi damai, makan bakso bersama, main sepakbola bareng, dan sebagainya dengan mereka. Intinya, kami sebagai personel Polri menjadikan diri kami sebagai perekat persatuan bangsa. []