Indonesia Menggugat

Bagi Soekarno, Marhaenisme adalah penemuan kembali kepribadian nasional Bangsa Indonesia. Nasib orang-orang seperti Marhaen inilah yang digugat ketika ia saat menjalani proses verbal di Landraad Bandung.

Sebagai aktivis, ruang sidang adalah panggung untuk menangkis tuduhan kolonial sekaligus mempropagandakan cita-cita politiknya dalam pledoi bertajuk “Indonesia Menggugat”.

Ketika membacakan pledoinya tanggal 1 Desember 1930, kemarahan ‘Marhaen’ yang disusun dari ruang yang gelap dan pesing di Penjara Bantjeuj itu menggelegar dan tepat menohok jantung kekuasaan kolonial.

Pledoi terang-terangan menelanjangi kebusukan imperialisme dan kapitalisme.

Menurut Soekarno, tiap-tiap bangsa atau umat manusia yang ditindas akan bangkit melawan jikalau sudah terlalu-lalu merasakan betapa celakanya teraniaya oleh suatu daya yang angkaramurka!

“Jangankan manusia, jangan lagi bangsa, cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit,” kata Soekarno di depan para hakim.

Menurutnya,  sejak awal abad ke-20, rakyat Indonesia sudah bangkit karena muak dengan imperialisme dan kolonialisme.

Ia menampik tudingan ‘penghasut’ yang dialamatkan pada kaum pergerakan dan menjelaskan lahirnya pergerakan rakyat adalah buah kesengsaraan dan kemelaratan yang disebabkan penindasan kolonial.

Dipenuhi literatur, pembelaan itu menyitir pendapat puluhan tokoh mulai dari yang marxis, nasionalis, humanis radikal sampai golongan etisi kolonial. Dari tokoh marxis, pidato itu mengutip Karl Mark, Karl Kautsky, Henriette Roland Holsts, Jean Jaures, Troelstra, dan Sneevliet.

Sedangkan dari golongan nasional, Soekarno mengutip Sun Yat Sen, Mazzini, Sarojini Naidu, dan Mustafa Kamil. Dari kalangan ekonom ada Rudolf Hilferding sementara dari sastrawan terdapat August de Wit. Pledoi juga menyitir intelektual Belanda seperti Snouck Hurgronje hingga J Pieter Veth.

Memperkuat argumentasinya, pledoi juga membeberkan data-data konkret seperti jumlah luas tanah yang dikuasai perkebunan kolonial. Juga data tentang keuntungan yang dibawa pergi oleh perusahaan-perusahaan Belanda dan kapitalis asing lainnya dari tanah Hindia-Belanda.

Menurut Soekarno susunan pergaulan hidup Indonesia adalah pergaulan hidup yang sebagian besar sekali adalah terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil hingga kaum pedagang kecil.

Kaum marhaen sama halnya kaum proletar dalam istilah Marxisme-Leninisme untuk menyebut mereka yang tertindas. Bedanya, Marhaen tidak menjual tenaga produksinya pada orang lain meski hidupnya tetap miskin.

“Amboi, dan berapakah besarnya upah yang biasanya diterima oleh kang Kromo atau kang Marhaen itu! Berapakah, umpamanya besarnya upah di dalam perusahaan terpenting yakni perusahaan gula, − itu perusahaan gula yang berdiri di tengah tengah pusat pergaulan hidup Bumiputera, di tengah tengah ulu hatinya pergaulan hidup itu?” kata Soekarno.

Menjawab pertanyaan itu, meminjam tulisan Dr. Huender, Soekarno menyebutkan bahwa perusahaan gula berlaku sangat jahat bagi yang rakyat yang menyewakan tanahnya. Sementara kepada buruh di perusahaan upah cuma sekadar cukup untuk menolak maut. Minimumloonen!

Menurut Soekarno, minimumloonen atau upah minimum itu di Hindia gampang ditemui dimana-mana selama rumah tangga bumiputera masih berupa rumah tangga yang kocar-kacir. Selama rakyat Bumiputera masih minimumlijdster selama itu pula mereka terpaksa menerima upah minimum untuk menolak maut.

Istililah minimumlijdster digunakan Soekarno untuk menyebut kondisi rakyat yang kelewat melaratnya, sehingga kalau umpamanya dikurangi sedikit saja bekal hidupnya niscaya ia bakal binasa. [TGU]

* Tulisan ini pertama dimuat Mei 2018