Kalibaru Semarang (Foto Tropenmuseum)

Sebuah dapur di rumah warga Kampung Jamu Gendong Sumber Husodo di Desa Sumbersari, Wonolopo, Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah, sudah jauh dari sepi sebelum fajar menyingsing. Pemilik rumah bersama sejumlah pekerja meramu jamu minuman tradisional khas Nusantara. Mesin penggiling menderu, bekerja menghaluskan rempah-rempah seperti kunyit, jahe, temulawak, brotowali, dan kencur. Suara alu yang menumbuk daun pepaya juga tak kalah bising.

Api menyala dari kompor-kompor gas, di atasnya lima panci besar merebus rempah-rempah yang sudah dihaluskan sebelumnya. Ramuan itu dicampur dengan tambahan bahan-bahan seperti gula aren atau asem jawa hingga mendidih. Ramuan-ramuan pun dikemas dan siap dijual ke konsumen sejak pagi.

Begitulah kehidupan mayoritas warga di Kampung Jamu Gendong. Melestarikan, meracik, dan berdagang jamu minuman tradisional, yang hingga kini masih dikonsumsi masyarakat Indonesia untuk menjaga kesehatan maupun menyembuhkan penyakit.

Jamu, minuman khas warisan leluhur dari rempah-rempah Nusantara ini, menandakan jejak peninggalan budaya hasil perdagangan rempah berabad-abad silam di Semarang. Kota Atlas ini dapat juga disebut sebagai kota jamu, karena di kota ini industri jamu tumbuh subur. Sebut saja sejumlah industri jamu seperti Jamu Cap Djago pada 1918, Jamu Nyonya Meneer pada 1919, Jamu Leo pada 1945, serta Jamu Air Mancur pada 1963.

Kisah rempah-rempah di Semarang ini bermula pada masa Kerajaan Mataram Kuno di abad ke-9. Salah satu bandar tersibuknya yaitu pelabuhan Bergota, menjadi tempat mensuplai bahan makanan guna keperluan pelayaran kapal-kapal dagang. Pelabuhan Bergota merupakan pelabuhan penting bagi Kerajaan Mataram Kuno, karena berfungsi sebagai meeting point antara masyarakat lokal di Jawa dengan pedagang dari luar Nusantara. Sayangnya, pengendapan yang terjadi membuat pelabuhan Bergota semakin dangkal sehingga garis pantai pun bergeser ke utara. Jejak kejayaan pelabuhan Bergota lantas hilang bersamaan dengan pengendapan tersebut.

Di era selanjutnya, perkembangan pelabuhan Semarang mulai kembali hidup pada awal abad ke-15. Posisinya diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu yang memanjang masuk ke Simongan. Daerah pesisir Semarang tersebut ramai didatangi oleh pedagang asal Tiongkok. Salah satu yang sempat singgah disini adalah armada Cheng Ho, penjelajah asal Tiongkok ketika mengunjungi beberapa kota di Pantai Utara Jawa.

Hadirnya armada Cheng Ho menjadi cikal bakal berkembangnya pemukiman masyarakat Muslim-Tionghoa yang menetap di daerah Simongan. Mereka turut meramaikan kegiatan perdagangan di pelabuhan. Tidak hanya bertukar komoditas, para pedagang juga membawa kebudayaan yang berbaur dengan kebudayaan lokal, sehingga proses asimilasi budaya pun menjadi hal yang tidak terelakkan. Saat ini, legenda kedatangan Cheng Ho yang monumental itu diabadikan dan dapat kita lihat pada Kelenteng Sam Poo Kong.

Namun, meski Semarang dikenal sebagai salah satu titik rempah penting di Nusantara, ia tidak menghasilkan rempahnya sendiri seperti Maluku. Semarang lebih dikenal sebagai pelabuhan penyuplai kebutuhan pokok untuk bekal pelayaran kapal-kapal jarak jauh. Komoditasnya yang melimpah seperti beras, buah-buahan, air tawar, dan kebutuhan pokok lainnya, selain menjadi bekal, bahan-bahan itu juga dibutuhkan sebagai alat tukar untuk memperoleh lada dari tempat lain.

Di samping bahan-bahan pangan, Semarang juga menjadi tempat pengumpulan berbagai jenis kain, termasuk kain dari Jepara, yaitu kain troso dan kain tenun. Semarang juga merupakan salah satu pengekspor gula yang diproduksi dengan mesin modern. Seorang Tionghoa terkenal yang lahir di Semarang, Oei Tiong Ham, mengakuisisi lima pabrik gula dan tercatat sebagai pengusaha gula terbesar di Hindia Belanda.

Dari catatan sejarah ini, semakin jelas bahwa Semarang berperan sebagai pusat perdagangan rempah-rempah yang dibawa dari Nusantara bagian timur, untuk ditukarkan dengan beras atau komoditas lokal lainnya di sini. Perdagangan ini tidak hanya melibatkan penduduk lokal, tetapi juga para pedagang Tiongkok dan India yang singgah di pelabuhan ini.

Aktivitas perdagangan yang meningkat di pelabuhan Semarang membawa perkembangan, terutama pasca terbentuknya Semarang sebagai wilayah pemerintahan serta adanya perjanjian antara Kerajaan Mataram dan VOC. Sarana dan prasarana dibangun di sekitar pelabuhan untuk mendukung aktivitas perdagangan. Berbagai fasilitas masyarakat tersedia, mulai dari pemukiman, tempat ibadah, dan pertokoan.

Lawangsewu Semarang (Foto Tropenmuseum)

Perdagangan rempah-rempah di Semarang juga turut menghadirkan berbagai akulturasi budaya antara pribumi dengan pendatang. Baik dari aspek arsitektural (perencanaan hingga perancangan kota), kesenian, budaya, dan pola pikir masyarakat yang lebih modern mengikuti perkembangan zamannya. Salah satu bangunan yang merekam itu semua adalah Gedung Oudetrap, yang dahulu difungsikan sebagai gudang tempat penyimpanan rempah gambir.

Awal modernisasi Semarang ditandai dengan pengembangan kawasan Kota Lama Semarang. Dengan arsitektur khas Belanda, sejumlah bangunan peninggalan pun masih berdiri kokoh hingga kini. Sebut saja Kelenteng Tay Kak Sie, Gereja Blenduk, Kelenteng Sam Poo Kong, Lawang Sewu, dan sejumlah kelenteng yang tersebar di Semarang, menjadi salah satu bukti warisan Jalur Rempah dalam keragaman budaya di kota ini. [Ahmad Gabriel]

Baca juga: