Kepulauan Banda

Jalur Rempah kini sedang diupayakan pemerintah agar diakui sebagai salah satu Warisan Dunia. Berbagai kegiatan diadakan untuk tujuan itu. Di antaranya, pemetaan segala bentuk dan jenis perniagaan yang berlangsung di Jalur Rempah.

Akhir tahun lalu, misalnya, berlangsung kegiatan International Forum on Spice Route (ISFR). Ini diadakan atas kerjasama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbuddikti) dengan Yayasan Negeri Rempah.

Para pembicara di forum internasional itu sepakat, Jalur Rempah merupakan jalur perniagaan komoditas rempah yang perniagaannya melintasi banyak area dan berbagai pelabuhan di dunia. Jalur perniagaan itu terutama bergerak di wilayah Nusantara barat dengan melintasi Asia, Afrika, hingga Eropa.

Dalam pemetaan Jalur Rempah, diakui Indonesia berperan penting dalam perekonomian dunia karena posisinya yang strategis sebagai jalur perniagaan maritim dunia. Indonesia di Asia Timur memiliki posisi strategis karena menghubungkan Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Eropa.

Selain itu, Indonesia yang berada di Asia Tenggara menjadi salah satu titik pusat perniagaan Jalur Rempah, karena ia memiliki bahan komoditas yang paling dicari dan paling berharga, yaitu rempah-rempah. Di antaranya, kayu manis, kayu manis cina, kapulaga, jahe, dan kunyit.

Rempah-rempah sangat dicari dalam perdagangan di Dunia Timur sejak dahulu kala. Barang itu menemukan jalan perniagaannya ke Timur Tengah sebelum awal era Kristen, tempat sumber sebenarnya rempah-rempah, namun dirahasiakan keberadaan sumbernya oleh para pedagang.

Di pertengahan milenium pertama, pedagang Hindustan dan Ethiopia mengendalikan rute pelayaran ke Hindustan (sekarang India) dan Sri Lanka (Romawi-Taprobane). Mereka saat itu menjadi kekuatan perniagaan maritim Laut Merah. Kekaisaran Aksum telah merintis perniagaan di Laut Merah jauh sejak sebelum abad ke-1 Masehi.

Pada pertengahan abad ke-7, kebangkitan Islam berimbas pada ditutupnya rute perniagaan darat kafilah yang melalui Mesir dan Terusan Suez. Para tajir Arab memisahkan komunitas pedagang Eropa dari Aksum dan Hindustan. Mereka berhasil mengambil alih pengiriman rempah-rempah melalui pedagang Levant dan pedagang Venesia untuk Eropa.

Perniagaan rempah pun membawa kekayaan besar bagi Kekhalifahan Abbasiyah. Para pelaut dan pedagang awal ini sering berlayar dari kota pelabuhan Basra, dan akhirnya setelah banyak pelayaran mereka akan kembali untuk menjual barang-barang mereka, termasuk rempah-rempah, di Baghdad. Ketenaran banyak rempah-rempah seperti pala dan kayu manis, dikaitkan dengan para pedagang rempah awal ini.

Kepulauan Banda di Maluku, Nusantara (sekarang Indonesia), selama waktu yang lama adalah satu-satunya sumber langka pala, memberikan kontribusi bagi reputasi Kepulauan Maluku sebagai “Kepulauan Rempah”. Nama Kepulauan Banda dan Kepulauan Maluku begitu terkenal di kalangan peniaga dunia.

Hubungan perniagaan antara Hindustan dengan Asia Tenggara sangat vital bagi para tajir Arab dan Persia abad ke-7 dan ke-8. Mereka, terutama keturunan Yaman dan Oman, mendominasi niaga maritim di seluruh Samudera Hindia. Mereka mendapat keuntungan besar setelah berhasil menemukan rahasia “kepulauan rempah”, yaitu Kepulauan Maluku dan Kepulauan Banda, sebagai daerah sumber di Timur Jauh.

Produk rempah-rempah dari Maluku kemudian dikirim ke pusat perniagaan di India, melewati pelabuhan seperti Kozhikode, dan melalui Ceylon (sekarang Sri Lanka). Dari sana barang itu dikirim ke arah barat melintasi pelabuhan Arabia di Timur Dekat, ke Ormus di Teluk Persia dan Jeddah di Laut Merah, bahkan kadang-kadang dikirim ke Afrika Timur, di mana mereka akan digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk upacara pemakaman.

Penduduk Abbasiyah menggunakan Alexandria, Damietta, Aden, dan Siraf sebagai pelabuhan pintu masuk perniagaan ke India dan Tiongkok. Pedagang yang tiba dari India di kota pelabuhan Aden membayar upeti dalam bentuk jebat, kapur barus, ambergris dan cendana kepada Ibnu Ziyad, Sultan Yaman.

Jadi, selama periode Abad Pertengahan, para tajir Arab mendominasi perniagaan rempah-rempah maritim di Samudera Hindia. Mereka memperoleh keuntungan besar dengan mengambil komoditas itu langsung dari sumbernya di Timur Jauh (Asia Tenggara). Lantas, mereka mengirimnya via Hindustan ke arah barat ke Teluk Persia dan Laut Merah, mengikuti rute darat menuju ke Eropa.

Mereka menggunakan kapal-kapal niaga dengan melewati kanal-kanal, seperti Teluk Benggala, sebagai jembatan untuk menguasai perniagaan di sepanjang banyak rute rempah-rempah. Bersamaan dengan itu, mereka melakukan pertukaran budaya dan komersial di antara beragam budaya dan agama.

Perniagaan mereka berjaya cukup lama, sampai bangkitnya Kekaisaran Turki Utsmani, yang memotong rute niaga Jalur Rempah pada 1453. Jalur niaga darat yang mereka lakukan pada awalnya membantu pengembangan perniagaan rempah. Tapi, rute perniagaan maritim kemudian ternyata jauh lebih berhasil dalam meningkatkan pertumbuhan luar biasa dalam aktivitas perniagaan.

Namun, perniagaan rempah-rempah kemudian berubah lagi di Zaman Penjelajahan Eropa. Kala itu, beberapa jenis rempah-rempah, sepeti lada hitam, sedang sangat dibutuhkan orang Eropa. Sampai akhirnya penjelajah ulung Portugis Vasco da Gama, pada 1498 berhasil mencapai Samudera Hindia melalui Tanjung Harapan setelah memutari Afrika.

Pelayaran dari Eropa ke Samudera Hindia itu menciptakan rute maritim baru perniagaan rempah-rempah. Tapi, para penjelajah Portugis mau tidak mau harus memutari benua Afrika, karena umumnya rute perniagaan kuna dilarang atau dibatasi untuk dilewati. Mereka dicegat di berbagai pelabuhan di negara-negara yang sejak awal khawatir didominasi pihak asing.

Perniagaan rempah-rempah Eropa pun berkembang, meski agak lambat karena menemukan banyak hambatan dan kendala tadi. Namun, para tajir Eropa, khususnya didorong penguasa dan pengusaha Kerajaan Belanda, akhirnya mampu melewati banyak masalah ini, dengan merintis perniagaan laut langsung dari Tanjung Harapan ke Selat Sunda di Nusantara, alias Indonesia sekarang. [AT]

Baca jaga: