Ilustrasi VOC

Pada awal abad ke-17, wilayah Nusantara menjadi arena persaingan keras antara kekuatan-kekuatan besar Eropa dan kerajaan-kerajaan lokal. Salah satu wilayah yang menjadi titik panas dalam perebutan kekuasaan adalah Jayakarta, sebuah kota pelabuhan strategis yang berada di bawah naungan Kesultanan Banten.

Letaknya yang menghadap langsung ke laut Jawa dan berada di jalur perdagangan rempah-rempah membuat Jayakarta menjadi rebutan banyak pihak, terutama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dari Belanda, Inggris, dan Banten sendiri. Mengutip berbagai sumber, berikut sejarah penaklukan Jayakarta dan proses terbentuknya Batavia.

Latar Belakang Konflik

Jayakarta adalah kota pelabuhan penting yang menjadi penghubung antara jalur perdagangan di wilayah barat dan timur Nusantara. Posisi geografisnya menjadikan kota ini titik singgah utama bagi kapal-kapal dagang, terutama yang mencari rempah-rempah dari Maluku dan sekitarnya.

Kesultanan Banten sebagai penguasa Jayakarta saat itu menyadari nilai strategis kota tersebut dan berusaha mempertahankannya dari pengaruh asing. Namun, kekuatan Eropa seperti Inggris dan VOC mulai mendekat, menawarkan kerja sama dagang yang pada akhirnya menjadi cikal bakal konflik.

VOC, sebagai perusahaan dagang milik Belanda, memiliki ambisi besar untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah dan mendirikan markas tetap di wilayah barat Nusantara. Jayakarta adalah target ideal. Di sisi lain, Inggris juga berupaya menjalin aliansi dengan Pangeran Jayakarta dan Kesultanan Banten demi mengimbangi kekuatan VOC. Persaingan antar kekuatan ini terus memanas dan mencapai titik didih pada tahun 1619.

Perang dan Penaklukan Jayakarta

Awal tahun 1619, ketegangan antara VOC dan para pesaingnya meningkat drastis. Pada bulan Januari tahun itu, Inggris dan pasukan Kesultanan Banten yang bersekutu dengan Pangeran Jayakarta berhasil merebut loji (pos dagang) serta gudang-gudang milik VOC di Jayakarta. Serangan tersebut memaksa pihak VOC untuk mengevakuasi sebagian besar pegawainya ke wilayah Jepara dan Ambon.

Namun, situasi politik di Jayakarta justru semakin rumit setelah keberhasilan tersebut. Inggris, Banten, dan Pangeran Jayakarta berselisih paham mengenai siapa yang seharusnya menguasai kota itu. Ketiadaan koordinasi dan saling curiga menyebabkan konflik internal yang melemahkan aliansi. Keadaan kacau ini dengan cepat dimanfaatkan oleh VOC.

Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang saat itu sedang berada di Maluku, segera kembali ke Jawa setelah mendengar kabar kekacauan di Jayakarta. Ia datang bukan dengan tangan kosong, tetapi membawa pasukan dalam jumlah besar untuk merebut kembali kota yang telah hilang dari tangan VOC. Pada tanggal 28 Mei 1619, Coen dan pasukannya tiba di Jayakarta. Tanpa menunggu lama, pada tanggal 30 Mei 1619, VOC melancarkan serangan besar-besaran ke kota tersebut.

Serangan ini sangat efektif. Jayakarta berhasil direbut kembali oleh VOC, dan kota itu koonon dibumihanguskan dibakar habis agar tidak dapat digunakan oleh pihak manapun. Dalam operasi militer ini, hanya satu orang prajurit Belanda yang tercatat tewas, sementara pihak lawan menderita kekalahan telak. Penaklukan ini menjadi titik balik penting dalam sejarah kota tersebut.

Penggantian Nama dan Pendirian Batavia

Setelah memastikan kekuasaannya atas reruntuhan Jayakarta, Jan Pieterszoon Coen segera mengambil langkah simbolis dan strategis dengan mengganti nama kota tersebut menjadi Batavia. Nama ini diambil dari suku Batavier, nenek moyang bangsa Belanda, sebagai pernyataan kekuasaan dan identitas kolonial di wilayah baru.

Langkah ini bukan sekadar penggantian nama, tetapi awal dari sebuah proyek besar pembangunan kota kolonial baru yang akan menjadi pusat kekuasaan Belanda di Asia Tenggara. VOC mulai merancang tata kota Batavia dengan mengacu pada konsep urban Eropa, khususnya model kota-kota di Belanda. Kota ini dibangun di atas reruntuhan Jayakarta dengan perencanaan matang yang mencakup infrastruktur, pertahanan, dan sistem perdagangan.

Transformasi Kota

1. Penataan Ulang Tata Ruang Kota

VOC segera memulai pembangunan kembali kota dengan sistem tata ruang yang lebih teratur. Jalan-jalan dibuat lebih lebar untuk memudahkan mobilitas, area pelabuhan diperbesar dan ditata ulang agar bisa menampung kapal-kapal dagang besar, dan gedung-gedung pemerintahan dibangun di lokasi strategis yang mudah diakses. Tata kota ini dirancang agar efisien secara logistik sekaligus mencerminkan kekuasaan dan kemajuan Belanda di wilayah jajahan.

2. Pembangunan Benteng dan Infrastruktur Pertahanan

Untuk mempertahankan kota dari serangan musuh, baik dari laut maupun darat, VOC membangun sistem pertahanan yang tangguh. Benteng utama, yang dikenal dengan nama Kastel Batavia, didirikan di bagian timur muara Sungai Ciliwung. Benteng ini dikelilingi parit-parit besar, pagar besi, dan tiang-tiang batu kokoh. Fasilitas ini menjadi simbol keamanan dan kekuatan VOC di kawasan tersebut.

3. Integrasi Sistem Perdagangan

Batavia diubah menjadi pusat perdagangan regional yang modern. VOC mendirikan pasar-pasar, gudang penyimpanan rempah-rempah, serta fasilitas logistik lainnya. Semua ini dirancang untuk memastikan alur perdagangan berjalan lancar, dari wilayah-wilayah penghasil rempah seperti Maluku, kemudian dikirim ke Eropa melalui kapal-kapal dagang VOC. Setelah kantor pusat VOC dipindahkan dari Ambon ke Batavia, kota ini resmi menjadi markas besar perdagangan VOC di Hindia Timur.

4. Pembangunan Infrastruktur dan Arsitektur Kota

Selain aspek perdagangan dan pertahanan, VOC juga memperhatikan arsitektur kota. Batavia dibangun dengan gaya arsitektur Eropa: rumah-rumah berdinding bata, kantor-kantor administrasi, gudang-gudang besar, dan fasilitas umum lainnya. Kota ini dipenuhi kanal-kanal yang meniru tata kota di Belanda, yang berfungsi sebagai jalur transportasi air serta sistem drainase. Dalam kurun waktu sekitar delapan tahun, Batavia berkembang dengan pesat, bahkan ukurannya bertambah hingga tiga kali lipat dibanding Jayakarta sebelumnya.

5. Pengusiran Penduduk Lokal

Namun di balik pembangunan besar-besaran itu, terjadi pula pengusiran besar-besaran terhadap penduduk lokal. Orang-orang Banten, Cirebon, Demak, serta komunitas Arab dan Tionghoa terpaksa meninggalkan wilayah kota. VOC menggantikan mereka dengan pendatang baru dari berbagai wilayah, termasuk budak dari Nusantara dan Asia Selatan, serta pegawai dan tentara bayaran dari Eropa. Batavia menjadi kota dengan populasi campuran, tetapi segregasi sosial dan rasial diterapkan secara ketat oleh penguasa kolonial.

Dampak Jangka Panjang dan Perkembangan Batavia

Penaklukan Jayakarta dan pendirian Batavia menandai awal dominasi VOC di wilayah Nusantara. Seiring waktu, Batavia berkembang menjadi pusat administrasi, militer, dan perdagangan Belanda di Asia Tenggara. Kota ini menjadi jantung pemerintahan kolonial Hindia Belanda selama lebih dari tiga abad. Dominasi ini berlangsung hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, ketika nama Batavia secara resmi diganti menjadi Jakarta.

Transformasi dari Jayakarta ke Batavia juga menyisakan warisan panjang dalam sejarah kota ini dari struktur kanal dan arsitektur Eropa, hingga stratifikasi sosial dan politik yang terbentuk selama masa kolonial. Jejak-jejak itu masih dapat dilihat hingga kini, menjadikan Jakarta sebagai kota yang dibangun dari reruntuhan perang, ambisi kolonial, dan konflik kekuasaan.

Penaklukan Jayakarta oleh VOC pada 30 Mei 1619 merupakan titik awal dari babak baru dalam sejarah Indonesia: masa kolonialisme panjang yang meninggalkan jejak mendalam. Peristiwa ini mengakhiri kekuasaan lokal atas Jayakarta dan membuka jalan bagi lahirnya Batavia sebuah kota yang dirancang untuk menjadi simbol kejayaan kolonial Belanda di Asia Timur.

Pembangunan Batavia tidak hanya mengubah lanskap fisik, tetapi juga struktur sosial, ekonomi, dan politik wilayah tersebut. Dari kota ini, VOC mengendalikan perdagangan Asia selama berabad-abad, dan dari sinilah pula, Indonesia menyusun kembali identitasnya setelah merdeka. [UN]