Seorang lelaki Belanda dengan nyai dan anak mereka. (Foto: KITLV)

Pada masa kolonial, kekuasaan bukan hanya diwujudkan dalam bentuk kekuatan militer atau kebijakan ekonomi yang eksploitatif, tetapi juga tertanam dalam bahasa dan istilah-istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata yang lahir dari sistem kolonial mencerminkan bagaimana masyarakat dikategorikan dan diperlakukan secara tidak setara.

Beberapa istilah bahkan bertahan hingga kini, menjadi jejak sejarah yang mengingatkan kita pada ketimpangan sosial yang pernah terjadi di Hindia Belanda. Artikel ini akan membahas beberapa istilah kolonial yang merefleksikan ketidakadilan dalam tatanan sosial masa itu.

Kehadiran bangsa Eropa di Nusantara tidak hanya membawa kolonialisme yang menindas dengan kekuatan senjata, tetapi juga menciptakan berbagai istilah yang mencerminkan ketimpangan sosial pada masa itu. Beberapa istilah seperti “gundik,” “nyai,” dan “Indo” muncul sebagai bagian dari sistem kolonial yang mengatur hubungan antara penduduk asli dan orang-orang Eropa. Sejarah mencatat bagaimana penduduk pribumi sering kali dipaksa tunduk pada penguasa kolonial dan ditempatkan dalam posisi yang tidak setara. Melansir berbagai sunber, berikut beberapa istilah yang populer pada masa Hindia Belanda:

1. Gundik dan Nyai

Istilah “gundik” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua arti: pertama, sebagai istri tidak resmi atau selir, dan kedua, sebagai perempuan piaraan atau bini gelap. Istilah ini berasal dari praktik “pergundikan,” yakni hubungan di luar perkawinan antara seorang perempuan pribumi dan laki-laki Eropa yang memiliki tujuan tertentu, sering kali berkaitan dengan status sosial atau ekonomi.

Dari praktik inilah istilah “Nyai” muncul. Dalam KBBI yang diterbitkan oleh Depdikbud pada tahun 1989, “Nyai,” “gundik,” dan “selir” didefinisikan secara serupa, yakni sebagai perempuan piaraan atau istri yang tidak dikawini secara resmi. Nyai merupakan sebutan bagi seorang gundik, sementara “gundik” sendiri adalah istilah umum untuk status mereka.

Pada abad ke-19, sebutan untuk Nyai semakin berkembang dengan kecenderungan merendahkan mereka. Sebutan paling halus yang digunakan oleh orang Eropa adalah “inlandse huishoudster,” yang berarti pembantu rumah tangga. Praktik ini mencerminkan bagaimana perempuan pribumi sering kali menjadi bagian dari sistem eksploitasi sosial di bawah kolonialisme.

2. Indo

Anak-anak hasil percampuran antara pribumi dan Eropa memiliki istilah tersendiri, yakni “Indo.” Sistem sosial kolonial yang sangat stratifikasi menempatkan mereka dalam posisi yang ambigu: tidak sepenuhnya pribumi yang dianggap rendah, tetapi juga tidak diakui sebagai bagian penuh dari kaum Eropa.

Kata “Indo” berasal dari bahasa Belanda “Indo-European” atau “Eropa-Hindia.” Keberadaan mereka menimbulkan segregasi sosial. Orang Eropa “totok” (murni tanpa campuran) cenderung merasa lebih tinggi dibandingkan kaum Indo. Karena mereka bukan bagian dari kaum Eropa sepenuhnya, mereka biasanya hanya mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor dagang sebagai pegawai rendahan. Pendidikan mereka juga kurang diperhatikan, dan mereka lebih sering bergaul dengan budak serta masyarakat pribumi.

Akibat dari pergaulan ini, kaum Indo mengembangkan bahasa campuran yang disebut “Indisch Nederlands” serta bahasa kreol yang dikenal sebagai “bahasa Pecok.” Dialek ini mencerminkan bagaimana kaum Indo menyerap budaya lokal tetapi tetap memiliki pengaruh bahasa Belanda dalam komunikasi sehari-hari.

3. Belanda Totok

Belanda Totok ialah sebutan untuk anak yang lahir di negeri jajahan seperti Indonesia namun memiliki ayah dan ibu yang asli berdarah Belanda. Sebutan Belanda Totok juga biasa diungkap kepada orang asli Belanda yang baru datang ke Indonesia saat negeri ini masih bernama Hindia Belanda.

Dari sejumlah literatur berbahasa Belanda, terdapat banyak tokoh yang jika ditelusuri latar belakangnya ialah seorang Belanda Totok. Dari kalangan intelektual kita mengenal nama Eduard Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama Multatuli.

Istilah-istilah yang muncul pada masa kolonial bukan sekadar kata-kata, tetapi mencerminkan ketimpangan sosial yang terjadi di Hindia Belanda. Sistem kolonial menciptakan hierarki yang memperlakukan penduduk pribumi sebagai kelas bawah, sementara orang Indo mengalami kebingungan identitas di tengah segregasi yang ada. Sejarah ini menjadi bukti bagaimana kolonialisme tidak hanya menindas secara fisik tetapi juga membentuk pola sosial yang berpengaruh hingga hari ini. [UN]