Israel hanya mengenal kekuatan senjata untuk meredam aksi protes.

Koran Sulindo –Tentara Israel menewaskan empat warga Palestina dan melukai sedikitnya 618 orang menyusul bentrok di perbatasan Gaza, Jumat (8/6).

Di antara korban yang tewas itu termasuk anak lelaki berusia 15 tahun.

Kementerian Kesehatan di Gaza menyebut puluhan ribu orang berpartisipasi dalam aksi tersebut dan diharapkan bakal menjadi protes terbesar di pagar perbatasan Israel dalam beberapa minggu terakhir.

Di antara 618 orang yang terluka 254 orang dirawat di rumah sakit dengan rincian satu orang dalam kondisi kritis, delapan menderita luka serius dan 125 luka ringan.

Menyukapi peningkatan eskalasi di sepanjang perbatasan, militer Israel segera menyiagakan sistem pertahanan udara Iron Dome untuk menetralisir ancaman roket dari kelompok perlawanan di Gaza seperti Hamas dan Jihad Islam.

Tambahan baterai rudal itu dikerahkan di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan perbatasan Gaza.

Meski Hamas maupun Jihad Islam tak tertarik dengan konfrontasi besar dengan Israel, militer memperkirakan kelompok-kelompok itu bakal tetap menggelar konfrontasi terbatas seperti penembakan proyektil.

Konfrontasi dibutuhkan untuk tetap menjaga citra mereka sebagai kelompok perlawananan di Gaza.

Sekitar 10.000 pengunjuk rasa berdemonstrasi di lima lokasi protes sepanjang pagar perbatasan. Sepanjang protes, sebuah pos militer Israel rusak berat dihantam sebuah roket yang ditembakkan dari Gaza.

Selain itu, pemrotes juga menerbangkan puluhan layang-layang dan balon yang memuat bom molotov yang diarahkan ke posisi tentara yang bersiaga di seberang perbatasan.

Seperti demonstrasi sebelumnya, tentara Israel mengerahkan penembak jitu di sepanjang perbatasan dengan Gaza.

Seorang pengunjuk rasa menyebut aksi protes itu digelar secara independen dan tak terafiliasi dengan kelompok apapun.

“Kami tidak terhubung dengan organisasi mana pun,” kata salah seorang penerbang layang-layang seperti dikutip Haarets. “Ide itu dimulai ketika kami melihat anak-anak dengan layang-layang dengan bendera Palestina pada pawai pertama,” kata dia.

Layang-layang digunakan pemrotes untuk mengirim bom molotov pada posisi-posisi tentara Israel.

“Kami melihat bahwa layang-layang terbang dan sanggup masuk ke wilayah Israel, dan kemudian kami berpikir untuk mengikat bahan yang mudah terbakar atau sesuatu yang terbakar.”

“Kami bukan teroris,” kata dia menegaskan. “Kami adalah generasi tanpa harapan dan tidak ada cakrawala yang hidup di bawah pengepungan yang menyesakkan, dan itulah pesan kami kepada dunia.”

Holocaust

Pejabat berwenang Israel menyebut ukuran kekuatan unjuk rasa itu sama seperti yang terjadi pada 14 Mei, ketika sekitar 60 orang Palestina ditembak mati oleh tentaraIsrael.

Beberapa pemrotes Palestina menampilkan pakaian-pakaian bertema Holocaust, termasuk seragam bergaris yang mewakili pakaian yang dikenakan orang Yahudi di kamp Nazi .

Penggagas protes menyebut pemilihan tema itu untuk mengirim pesan bahwa Palestina tidak bertanggung jawab atas Holocaust, namun mereka membayar harga untuk itu.

Mereka mengatakan tujuan protes adalah menunjukkan kepada dunia bahwa Israel melakukan kejahatan terhadap rakyat Palestina.

Sementara itu, utusan Palestina di PBB mendesak Majelis Umum untuk mengadakan pertemuan darurat dan mengadopsi resolusi yang memuat kutukan atau penyesalan “penggunaan kekuatan yang berlebihan” oleh Israel, khususnya di Gaza.

Mereka juga mendesak PBB untuk membuat rekomendasi yang bisa menjamin perlindungan bagi warga sipil Palestina.

Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour meyakini Presiden Majelis Umum Miroslav Lajcak bakal menetapkan jadwal pertemuan dengan ‘segera’.  Mansour mengatakan ‘kemungkinan besar’ jadwal yang akan dipilih adalah Rabu minggu depan.

Mansour mengatakan resolusi yang diajukan ke Majelis Umum mirip dengan resolusi yang sebelumnya telah diusulkan oleh Kuwait.

Resolusi itu meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres membuat proposal dalam 60 hari “tentang cara dan sarana memastikan keamanan, perlindungan dan kesejahteraan Palestina penduduk sipil di bawah pendudukan Israel.”

Pemrotes mengenakan seragam tawanan orang Yahudi di era Perang Dunia II.

Di sisi lain, Hamas mendesak solidaritas warga Palestina di Tepi Barat untuk bergabung dalam ‘March of Return’ dengan menuju ke Yerusalem untuk berdoa di Masjid Al-Aqsa atau di pos-pos pemeriksaan Israel di sepanjang jalan.

Hamas mengontrol Jalur Gaza, namun wilayah Palestina di Tepi Barat dikendalikan Otoritas Palestina didominasi organisasi Fatah dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas .

Selama dua bulan terakhir, puluhan ribu demonstran Palestina berbaris menuju pagar yang melambangkan blokade 11 tahun pada dua juta warga di Jalur Gaza.

Disebut sebagai Great March of Return, protes menuntut Israel agar mengizinkan para pengungsi Palestina dan keturunannya kembali  ke wilayah yang sekarang disebut sebagai Israel.

Mereka juga memprotes blokade Jalur Gaza dan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem

Protes yang digagas oleh aktivis independen dan didukung faksi-faksi besar gerakan perlawanan di Gaza seperti Hamas, berlangsung sejak 30 Maret hingga 15 Mei yang diperingati sebagai  Nakba Day.

Di hari pertama protes, sedikitnya tiga puluh ribu warga Palestina berpartisipasi aksi tersebut.

Sebagian besar demonstran mendirikan ratusan tenda beberapa ratus meter dari perbatasan dan menggelar demonstrasi secara damai, sementara beberapa yang lain yang sebagian besar terdiri mulai mendekati perbatasan, membakar ban untuk menciptakan tabir asap, melemparkan batu dan molotov kepada pasukan Israel.

Israel menanggapi protes itu dengan menembakkan gas air mata dan peluru tajam dan menewaskan sedikitnya 110 orang Palestina antara 30 Maret hingga 15 Mei.

Protes mencapai puncaknya pada hari Senin, 14 Mei, ketika 59 warga Palestina tewas di 12 titik kerusuhan di sepanjang pagar perbatasan.

Israel menanggapi gelombang protes itu sebagai ancaman teror, terlepas bahwa mereka sama sekali tak dilengkapi dengan senjata.(TGU)