Gubernur DIY Sultan HB X

Koran Sulindo – Bupati dan wali kota di Provinisi Daerah Istimewa Yogyakarta terancam kena teguran bahkan sanksi jika tak menjalankan instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 terkait pencegahan perlakuan diskriminasi.

Sekretaris DIY Gatot Saptadi menyebut Instruksi Gubernur itu berisi peringatan kepada para kepala daerah di DIY untuk mengatur dan menata hidup di masyarakat.

Ia menyebut secara, teknis pelaksanaan instruksi itu diserahkan ke bupati/wali kota di wilayahnya masing-masing.

“Instruksi itu perintah, jadi perintah gubernur sebagai pembina wilayah kepada bupati/wali kota,” kata Gatot saat jumpa pers di kantor Kepatihan, Jumat (5/4).

Sebagai kepala wilayah dan pembina wilayah dan wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur sehingga bisa mengatur dan menata bupati/wali kota untuk melakukan langkah-langkah pencegahan potensi konflik sosial.

Menurut Gatot dengan terbitnya instruksi itu, mestinya bupati/wali kota segera mengeluarkan kebijakannya sekaligus berkoordinasi dengan aparat di bawahnya.

Ia juga menyebut Gubernur mempunyai kewenangan untuk memberikan teguran kepada bupati/wali kota yang tidak memenuhi instruksi itu.

“Sanksinya banyak, ada aturannya. Sanksinya secara penyelenggaraan pemerintahan, bisa sanksi personal, dan sebagainya, regulasinya sangat bisa sekali, tapi tak sampai mencopot,” kata Gatot.

Ia jga menambahkan setelah terbitnya instruksi gubernur tersebut, Pemprov DIY bakal terus berkoordinasi dengan kabupaten dan kota untuk secara periodik memonitor apakah instruksi itu dijalankan. “Setiap tiga bulan kami bertemu di Forkopimda untuk mengupdate ini semua,” kata Gatot.

Seperti diketahui seorang warga bernama Slamet Jumiarto ditolak saat hendak tinggal di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul karena beragama Katolik.

Penolakan itu terjadi ketika Slamet melapor ke Ketua RT 008, Desa Pleret setelah mengontrak sebuah rumah wilayah itu.

Ketua RT menyebut alasan penolakannya didasari pada peraturan kampung bernomor 03/Pokgiat/Krt/Plt/X/2015 yang menyebut warga non-Muslim dilarang tinggal di Desa Pleret.

Tak puas dengan keterangan Ketua RT, Slamet mencoba mencari kepastian ke Kepala Dukuh Karet, Iswanto.

“Paginya saya ketemu ketua kampung, itu pun juga ditolak, kemudian saya ingin ketemu pak dukuh, cuma waktu kemarin belum tahu rumahnya, belum tahu namanya,” kata Slamet seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (2/4).

Belakangan, Slamet mengadu keadaan yang menimpanya itu hingga ke Sekretaris Sultan dengan cara merekam pesan singkat yang juga dikirimkan ke Sekda Bantul. Curhatan Slamet selama kurang lebih 4 menit itu juga tersebar di sejumlah masyarakat melalui pesan singkat.

Namun setelah akhirnya langkah mediasi dilakukan antara Slamet dan tokoh masyarakat serta polisi awal minggu ini, peraturan tersebut akhirnya dicabut dan warga di wilayah itu sepakat hidup rukun dan damai.

Dalam mediasi tersebut, semula Ketua RT 008 sempat mengusulkan agar Slamet diperbolehkan tinggal hanya selama 6 bulan saja. Namun Slamet menolaknya.

“Kalau hanya 6 bulan kan buat apa. Sama saja penolakan secara halus kepada saya. Kalau memang boleh ya boleh, kalau enggak ya enggak, gitu saja,” kata Slamet.

Setelah berdiskusi, akhirnya dirinya bersedia untuk pindah dengan catatan mengembalikan seluruh biaya yang sudah dikeluarkan dan peraturan pelarangan non-Muslim tinggal di wilayah Pleret harus dibatalkan alias dicabut.

Seperti diketahui, selama menempati rumah, Slamet sudah mengeluarkan uang Rp 4 juta untuk mengontrak satu tahun, Rp 800.000 untuk renovasi rumah, plus Rp 400.000 untuk transport renovasi.

“Yang terpenting bagi saya, peraturan tersebut sudah dicabut. Jangan sampai ada korban lainnya. Jangan sampai cap intoleransi di DIY semakin tebal,” kata Slamet.[TGU]