Perkebunan sawit di Halmahera Selatan. Foto: mongabay.co.id

Koran Sulindo – Indonesia menjadi penyumbang karbaondioksida atau CO2 global terbesar di dunia. Setiap tahun, menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia melontarkan240 juta ton hingga 447 juta ton CO2, yang berasal dari sektor pertanian, konversi hutan yang kaya karbon untuk perkebunan, dan penggunaan lahan lain.

Karena, hutan hujan tropis dan lahan gambut menyimpan karbon dalam jumlah besar. Dengan demikian, seperti uraian sebuah makalah di Nature Communications yang diterbitkan pada Juni 2018 lalu, satu hektare hutan hujan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit di Indonesia akan menyebabkan lepasnya 174 ton karbon. Sebagian besar karbon tersebut akan menguap ke udara menjadi CO2.

Memang, di seluruh dunia, emisi dari tanah menyumbangkan sekitar seperempat dari semua emisi gas rumah kaca. Demikian data dari Bank Dunia.

Dengan kondisi seperti itu, wajar jika mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim memprediksi Indonesia akan hilang atau tenggelam pada tahun 2045 kalau tidak serius menangani perubahan iklim sejak sekarang. “Kalau kita tidak sungguh-sungguh mengubah pola dan cara pembangunan yang saat ini berjalan, business as usual, pada tahun 2045 Indonesia akan tenggelam, akan hilang. Sebaliknya, jika serius mengubahnya, Indonesia akan jaya,” ungkap Emil pada konferensi internasional “Climate Finance and Policy for Paris Agreement” yang diadakan Jaringan Ahli Perubahan Iklim Indonesia (APIK) di Jakarta,19 Desember 2018 lalu.

Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini mengutip laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dirilis 8 Oktober 2018 lalu. Dalam laporan itu digambarkan skenario kondisi Bumi jika suhunya naik 1,5 derajat celcius (1,5ºC) dan 2 derajat celcius (2ºC).

Perbedaan setengah derajat celcius saja berpotensi mencegah ratusan juta orang dari kemiskinan. Karena, pada pemanasan global 1,5ºC, kawasan es abadi Arktik baru akan mengalami musim panas sehingga semua es dapat meleleh setiap 100 tahun. Pada pemanasan 2ºC, risiko itu meningkat menjadi satu kali setiap sepuluh tahun. Bila menggunakan skenario 2ºC, kenaikan permukaan laut diperkirakan 10 centimeter lebih tinggi daripada pada skenario 1,5ºC.

Perubahan iklim yang disebabkan manusia telah mengakibatkan pemanasan global sekitar 1ºC. IPCC menekankan, konsekuensi pemanasan global itu terlihat khususnya dalam bentuk cuaca ekstrem.

Dijelaskan Emil Salim lagi, negara-negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina, Maladewa, dan negara-negara kecil di Samudra Pasifik akan menjadi korban terbesar dan menderita paling parah dari perubahan iklim. Apalagi, letak Indonesia dekat dengan Kutub Selatan. Jika es di kutub mencair, permukaan air laut meningkat, sehingga sungai-sungai menjadi tertutup. Banjir rob akan menenggelamkan jutaan penduduk yang tinggal di pesisir Indonesia, seperti di Jakarta, Semarang, dan kota besar serta kecil lainnya.

“Pada peringatan 100 tahun Kemerdekaan Indonesia, kita akan tenggelam jika tidak mengubah pola pembangunan sejak sekarang,” tutur Emil Salim prihatin.

Memang, banjir rob sejak sepuluh tahun terakhir ini selalu melanda beberapa kelurahan di Jakarta Utara, pesisir Semarang, Pekalongan, dan Demak. Bahkan, Dukuh Rejosari dan Tambaksari di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak tenggelam karena air laut dan tidak bisa dihuni lagi.