MAJALAH Fikiran Ra’jat yang dipimpin Bung Karno dalam edisi nomor 24, terbit 9 Desember 1932, memberitakan penangkapan Rasuna Said oleh polisi kolonial Belanda. ”Dalam rapat oemoem P.M.I. di Padang seorang kaoem iboe bernama Rasoena Said telah kena spreekdelict dan ditahan preventief,” demikian ditulis majalah itu.
Penahanan Rasuna Said juga kembali disinggung majalah tersebut pada edisi nomor 35, terbit 24 Februari 1933, dengan judul berita “Rasoena Said dapat teman boeat 8 hari”. Isi beritanya sebagai berikut.
“Rasoena Said beloem lagi beberapa mendjalankan pengorbanannja, sekarang (6 Februari ’33) telah mengiring di tempat itoe djoega [hotel prodeo di Pajakomboeh] Sdr. Mardiani Djali dan Fatimah Reno, doea pengadjoer Islam nationalism Nahdatoelnisaijah P.N.N., P 8 hari lamanja, karena ditoedoeh beropenbaar zonder beritahoe dan membiarkan anak-anak dalem vergadering jang terseboet. Bertambah njata bagi kita sekarang bahwa pergerakan Ra’jat soedah dekat dan hampir dipoentjaknja.
“Diwaktoe kaoem Iboe telah berani mengorbankan dirinja dalem pergerakan Ra’jat tanda kemerdekaan soedah sangat dekat.
“Ketahoei dan jakinlah!!!
“Begitoe saudara Bsd. K. dari Pajakomboeh toelis pada kita.”
Dengan memakai nama samaran Soemini, Bung Karno dalam Fikiran Ra’jat juga menggambar ilustrasi simbolis tentang penangkapan dan penahan Rasuna Said. Ilustrasi itu diberi tajuk “Salam dari Pendjara”, dengan keterangan berbunyi “Saodara poeteri Rasoena Said kini meringkoek dalam penjara boeat satoe tahoen tiga boelan lamanja oentoek Indonesia Merdeka. Hidoeplah Indonesia Merdeka!”
Tak diketahui kapan Bung Karno dan Rasoena Said bertemu langsung untuk pertama kalinya. Namun, tercata, menjelang kemerdekaan, Rasuna Said adalah satu dari dua perempuan yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Satu perempuan lain adalah ialah Siti Soekaptinah.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Juga duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat. Ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya. Semasa hidupnya, Rasuna Said juga aktif di Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).
Rasuna dan Bung Karno semasa hidupnya dikenal sebagai dua orang sahabat dekat. Ketika terjadi pemberontakan PRRI/Permesta di sejumlah daerah, Rasuna mendukung Bung Karno untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Dalam “Rapat Pantja Sila” yang digelar di Bandung pada 1958, Bung Karno mengajak Rasuna untuk ikut berpidato. Rasuna dipersilakan menyampaikan orasinya terlebih dulu.
Dalam kesempatan itu, Rasuna mengecam pemberontakan PRRI/Permesta sebagai gerakan subversif. “Mereka membentuk PRRI yang tidak revolusioner sama sekali, tetapi reaksioner. Saya sangat malu sebagi seorang putri dari karena petualangan ini justru adanya di Minangkabau,” kata perempuan yang lahir di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 15 September 1910, itu.
Bung Karno pun memuji Rasuna Said sebagai Srikandi Indonesia. Putra sang Fajar memuji kegigihan Rasuna Said dalam berjuang fisik menentang penjajahan. Juga memuji ketangguhan mental Rasuna Said, walau sempat dijebloskan ke penjara, dan tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tampaknya, Bung Karno memang sengaja mengajak Rasuna untuk hadir dalam rapat umum itu. Karena, sebulan sebelumnya, pada 15 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI di Padang, Sumatera Barat, mengeluarkan ultimatum pemberontakannya terhadap pemerintahan yang dipimpin Bung Karno.
Perjalanan Rasuna sebagai pejuang memang sangat panjang, yang telah ia mulai sejak masa remaja. Semasa masih menimba ilmu di Sekolah Diniyah Putri, Padangpanjang, yang didirikan Rahmah El Yunusiah pada 1923, Rasuna sudah aktif berpolitik. Ia menjadi Sekretaris Sarekat Rakyat Cabang Padangpanjang, organisasi yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia. Ketika itu, Rasuna juga telah diminta oleh Rahmah El Yunusiah untuk menjadi salah seorang pengajar di Sekolah Diniyah Putri.
Ketika Sarekat Rakyat dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda setelah terjadinya Pemberontakan Silungkang tahun 1927, Rasuna bergabung dengan Partai Sarekat Islam pada tahun 1928. Rasuna dipercaya menjadi ketua cabang Maninjau. Setahun kemudian, ia menikah dengan Dusky Samad, seorang pengajar di Sekolah Thawalib yang juga pejuang pergerakan kemerdekaan. Namun, karena kesibukan masing-masing, rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Dari pernikahan ini, pasangan tersebut dikaruniai seorang anak perempuan, yang diberi nama Auda Zaschkya Dusky.
Pada tahun 1930, Rasuna Said bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi atau PMI). Bersama dengan Rasimah Ismail dan Ratna Sari, ia menjadi propagandis perempuan yang mengampanyekan modernisasi pendidikan, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, reformasi pergerakan Islam, serta upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ketika Ketua Permi, Muchtar Loethfi, dibuang ke Boven Digoel oleh Belanda, Rasuna Said mengambil alih kepemimpinannya. Ketika sedang menyampaikan pidatonya yang diberi judul “Langkah-Langkah Menuju Kemerdekaan Rakyat Indonesia” pada Kongres Perempuan Permi di Padangpanjang tahun 1932, Rasuna pun ditangkap polisi mata-mata pemerintah kolonial Belanda dan kemudian dijebloskan ke Penjara Bulu, Semarang. [Purwadi Sadim, Redaktur Pelaksana Koran Suluh Indonesia]