Identitas Kelas Sosial

FASHION bukan saja sangat dipengaruhi oleh kultur zamannya, tapi juga oleh kondisi alam, termasuk iklim. Orang-orang Mesir Kuno, misalnya, mengenakan pakaian yang tidak hanya terlihat glamor, tapi juga nyaman bagi mereka, karena iklim negerinya yang panas. Itu sebabnya mereka suka pakaian berwarna putih.

Namun, pakaian serta perhiasan pada masa itu hanya dikenakan oleh orang-orang kaya. Para pekerja dan anak-anak dalam keseharian nyaris telanjang. Dengan demikian, fashion dapat menjadi “alat” untuk menunjukkan identitas kelas dan kekuatan (power) kelas sosial seseorang.

Banyak peneliti menemukan, pakaian dan simbol-simbolnya yang setara dengan itu sepanjang sejarah memang kerap digunakan oleh kelas penguasa untuk mengekspresikan kekuatan dan kekayaan mereka. Bukan hanya zaman Mesir Kuno, pengenaan busana mewah sebagai alat untuk mengekspresikan kekuatan juga dilakukan di Prancis pada abad ke-17. Misalnya pada masa Raja Louis XIV.

Dalam buku Negara Teater: Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas (2000), Clifford Geertz memperkenalkan istilah negara teater, negara yang berbasis pada pengertian negara sebagai stateliness, yakni negara yang melakukan penguasaan dan penaklukan terhadap pihak-pihak tertentu, termasuk warganya, bukan dengan cara penaklukkan harfiah dengan kekerasan, tapi melalui simbol dan kemegahan. Juga lewat perayaan dan kebesaran sang penguasa.

Tidakkah cara-cara seperti itu, dengan menciptakan negara teater seperti dilansir Geertz, bisa dikatakan juga sebagai fashion statement?

Sampai sekarang, penggunaan busana mewah untuk menonjolkan kekuatan masih tetap ada. Lihat saja bagaimana rumah mode high-end mendominasi industri fashion selama puluhan tahun belakangan ini. Misalnya Louis Vuitton, Hermès, dan Gucci, tiga merek mewah terkuat di dunia.

Sebagian dari kita mungkin mengetahui bagaimana kisah Hermès terhubung dengan Putri Grace Kelly dari Monako. Pada suatu hari menjelang akhir tahun 1950-an, Grace Kelly menggunakan handbag Hermès hitam dari kulit buaya untuk menyembunyikan perutnya yang sedang hamil dari mata paparazzi —yang sebenarnya bisa dikatakan hampir tidak kentara kehamilannya. Kisah itu kemudian menjadi sangat terkenal, sehingga handbag Hermès itu menjadi simbol kekuatan perempuan dan dikenal dengan sebutan tas Kelly. Begitu juga foto-foto Grace Kelly yang sedang menutupi perutnya dengan handbag Hermès hitam itu, digunakan oleh banyak kaum feminis Eropa sebagai kekuatan simbolis perempuan dalam perjalanan menuju puncak kesuksesan di tengah dunia yang dipenuhi gerombolan pria.

Menurut Pierre Bourdieu dalam bukunya yang berjudul Distinction (1984), fashion dan selera (taste) menjadi suatu penanda yang memproduksi dan memertahankan perbedaan kelas sosial. Selera menjadi suatu konsep kunci yang memberi makna dan isi ke identitas sosial seseorang atau kelompok masyarakat. Penafsiran Bourdieu pada fashion itu dibingkai oleh selera kultural dan perjuangan kelas sosial.

Kelas menengah ke atas, dalam pandangan Bourdieu, lebih berfokus pada nilai-nilai estetika produk fashion dan sejauh mana produk fashion yang mereka kenakan berbeda dengan masyarakat pada umumnya alias tidak pasaran atau bahkan hanya dimiliki oleh satu orang. Sementara itu, kelas pekerja lebih berfokus pada fungsi dan daya tahan produk fashion dalam rentang waktu yang relatif lama. Jadi, fashion dapat dipandang juga sebagai penanda identitas kekuatan ekonomi suatu kelas sosial di masyarakat.

Di sisi lain, cara pandang Bourdieu tersebut bisa dijadikan sebagai “alat ukur” seberapa demokratisnya suatu masyarakat. Semakin demokratisnya suatu masyarakat, penampilan orang-orang di depan publik pun semakin beragam dan, yang paling penting, tidak begitu memerlihatkan perbedaan kelas sosial. Dengan begitu dapat dikatakan fashion merefleksikan pula perkembangan demokrasi di suatu kelompok masyarakat.

Kalau kita amati penampilan dan cara berbusana sebagian besar anggota masyarakat di Indonesia, terutama di kota-kota besar, bisa dikatakan masyarakat kita sudah menjadi masyarakat yang demokratis. Fenomena ini semakin terasa menguat ketika semakin banyak orang Indonesia yang dapat mengakses Internet relatif mudah lewat smartphone dan globalisasi menerpa seluruh dunia.

Internet menyajikan informasi hal-ihwal fashion dari berbagai belahan dunia, yang pada gilirannya berpengaruh juga ke individu-individu dan tak jarang menjadi trend di masyarakat secara luas. Trend globalisasi membuat berbagai produk fashion branded relatif bisa dijangkau berbagai kalangan, yang mendorong industri fashion di Tanah Air lebih terbuka dan sensitif (dalam arti positif) terhadap berbagai perubahan trend fashion yang terjadi di tengah masyarakat.