Catatan Cak AT:
Coba bayangkan dunia yang tak lagi belepotan dengan oli, tak lagi bau bensin, tak ada suara genset meraung di tengah malam, dan tagihan listrik tak lagi membuat jantung berdebar seperti menunggu hasil ujian. Betapa indah dunia yang energinya hijau, bikin lingkungan tak lagi tercemar.
Itulah dunia di mana energi bukan lagi kutukan, tapi keberkahan. Sebuah dunia yang, kata laporan hasil kolaborasi World Economic Forum (WEF) dan Frontiers (2025), bisa dicapai lewat tiga kunci: amonia hijau, panas bumi modular, dan mobil yang bisa balas dendam ke PLN.
Ya, kita sedang bicara tentang masa depan energi — tapi bukan yang berasap dan bising. Ini tentang listrik yang datang dari langit dan tanah, bukan dari cerobong dan tambang.
Mari mulai dari yang paling tidak wangi: amonia. Selama ini, amonia dikenal sebagai bahan pupuk dan bau kandang ayam. Tapi kini, di mata WEF, ia sedang naik pangkat jadi bahan bakar bersih masa depan.
Dalam bentuk barunya, green ammonia, ia tak lagi dibuat dari gas alam atau batu bara, melainkan dari air dan udara — dengan bantuan listrik dari sumber terbarukan seperti surya atau angin.
Bayangkan: air dipecah jadi hidrogen dan oksigen, lalu hidrogen itu digabungkan dengan nitrogen dari udara untuk membentuk amonia. Tanpa emisi karbon, tanpa boros energi fosil.
Amonia hijau ini bisa disimpan, diangkut, bahkan dibakar di mesin kapal, pabrik baja, dan pembangkit listrik. Tapi dengan satu syarat: manusia berhenti mencampuri reaksi kimia itu dengan kerakusan.
Di Jepang dan Norwegia, kapal bertenaga amonia sudah berlayar. Di Australia, proyek green ammonia hub sedang dibangun di tengah gurun, menyiapkan ekspor energi bersih untuk dunia.
Di Indonesia? Kita masih mengimpor pupuk dengan harga yang membuat petani menanam padi sambil mengeluh. Padahal, kita punya laut, udara, dan sinar matahari yang gratis — hanya saja belum kita ubah jadi “bahan bakar langit”.




