Jakarta – Ketua Umum Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM), Emir Moeis, menyerukan pentingnya membentuk kekuatan ideologis dan organisatoris baru yang berlandaskan nilai-nilai Marhaenisme di tengah tantangan zaman. Hal ini disampaikannya dalam acara Dies Natalis ke-78 GPM yang digelar di Gedung Gerakan Bhineka Nasionalis (GBN), Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Sabtu (31/5).
Dalam sambutannya, Emir Moeis menekankan bahwa perjuangan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur tidak berhenti setelah kemerdekaan diraih. Menurutnya, seperti yang pernah dikatakan Bung Karno, perjuangan sejati justru dimulai setelah bangsa ini menyeberangi jembatan emas kemerdekaan.
“Berjuang melawan penjajahan asing itu ternyata lebih mudah daripada membangun keadilan sosial di negeri sendiri. Di sinilah pentingnya GPM sebagai gerakan ideologis untuk memperjuangkan masyarakat adil dan makmur,” ujarnya di hadapan tamu undangan dari berbagai daerah dan kalangan.
Bangkit dari Masa Kelam
Emir juga mengenang bagaimana GPM sempat dilarang dan “diharamkan” selama puluhan tahun setelah 1965. Nama Marhaenisme pun sempat dihapus dari wacana publik karena stigma ideologis yang dilekatkan secara tidak adil.
“Ironis, Pancasila diagung-agungkan, tapi penggali dan peletaknya, Bung Karno, justru dihina dan disingkirkan,” kata Emir, mengenang pengalaman politiknya di masa Orde Baru.
Namun sejak tahun 2000-an, GPM mulai bangkit kembali. Emir menuturkan bahwa saat pertama kali ia diminta memimpin organisasi itu, hanya ada segelintir DPD yang aktif. Kini, menurut data terakhir, GPM telah memiliki 19 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) aktif dari berbagai provinsi.
Fokus pada Pendidikan Kader dan Penguatan Organisasi
Ke depan, Emir Moeis menargetkan terbentuknya setidaknya 25 DPD GPM sebelum Kongres mendatang. Ia juga mendorong penyusunan struktur organisasi hingga tingkat kecamatan (PAC) dan membuka pintu bagi generasi muda dari berbagai latar belakang untuk bergabung.
“GPM ini bukan organisasi partisan. Kita terbuka untuk semua anak bangsa yang mau berjuang dalam garis ideologis Marhaenisme, lintas partai, lintas agama,” ujarnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya pendidikan kader sebagai langkah awal pembentukan kekuatan ideologis.
“Kita sudah siapkan buku kaderisasi, tinggal cetak dan distribusikan. Saya ingin adakan pelatihan guru kader yang nantinya bisa menyebarkan pemahaman Marhaenisme ke seluruh Indonesia,” katanya.
Emir menambahkan bahwa pendidikan ideologis ini penting agar generasi muda, termasuk Gen Z, tidak hanya mengenal Marhaenisme sebagai istilah sejarah, tetapi memahami substansinya secara mendalam.
Harapan untuk Masa Depan
Menutup sambutannya, Emir Moeis menyampaikan harapannya agar GPM dapat menjadi kekuatan politik moral yang dapat membawa nilai-nilai Marhaenisme ke dalam institusi-institusi strategis negara. Ia pun tak segan menyebut kemungkinan dibentuknya Partai Politik Marhaenis jika kekuatan ideologis dan kaderisasi telah matang.
“Saya tidak bilang PDI Perjuangan harus menang. Tapi yang penting para Marhaenis harus ada di parlemen, membawa semangat perjuangan untuk rakyat,” tegasnya.
Acara Dies Natalis ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh senior dan tokoh muda dari berbagai kalangan, termasuk mantan pejuang dan aktivis angkatan lama yang tetap setia dalam garis perjuangan Marhaenis. [IQT]