Edhi Sunarso bersama Sukarno. (Sumber: Arsip Keluarga Edhi Sunarso/Kemdikbud)

Indonesia memiliki banyak maestro seni yang karyanya abadi dan terus dikenang lintas generasi. Di antara mereka, ada nama yang melekat kuat dalam sejarah seni rupa, terutama di bidang seni patung, yaitu Edhi Sunarso. Tidak hanya dikenal sebagai pematung handal, Edhi adalah sosok yang karyanya menyuarakan semangat nasionalisme dan mencerminkan dinamika perjalanan bangsa.

Melalui tangan dinginnya, monumen-monumen ikonik lahir, menjadi saksi bisu sejarah perjuangan dan perkembangan Indonesia. Namun, siapa sebenarnya Edhi Sunarso, dan bagaimana perjalanan hidupnya hingga menjadi maestro patung realis yang dikenang hingga kini? Mari kita telusuri jejak kehidupannya.

Awal Perjalanan sebagai Seniman

Edhi Sunarso adalah salah satu seniman patung terkemuka di Indonesia yang karyanya telah mewarnai perjalanan seni rupa tanah air. Menurut catatan Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Edhi lahir di Salatiga pada 2 Juli 1932, Edhi adalah putra dari Somo Sardjono. Sejak usia tujuh bulan, ia tinggal bersama bude-nya di Jakarta.

Kehidupan masa kecilnya tidak lepas dari peristiwa besar, termasuk kebakaran yang disebabkan oleh jatuhnya pesawat pasukan Jepang di perkampungan tempat tinggal mereka. Peristiwa ini memisahkan Edhi kecil dari bude-nya, dan ia akhirnya diangkat anak oleh gurunya di Pegaden Baru, Subang.

Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, Edhi yang saat itu masih belia terlibat aktif sebagai gerilyawan. Ia menjalani tugas berbahaya sebagai kurir surat dan peluru, serta menjadi mata-mata bagi pasukan Republik di Jawa Barat. Sekolahnya di Sekolah Rakyat (SR) terhenti ketika ia memilih menjadi komandan pasukan sabotase yang bertugas membakar pabrik-pabrik milik Belanda.

Namun, perjuangannya harus terhenti sementara ketika ia ditangkap oleh pasukan Belanda pada Juni 1946 dan dipenjara selama tiga setengah tahun. Setelah bebas pada Juli 1949, Edhi kembali bergabung dengan pasukan gerilya di Yogyakarta, namun pasukan tersebut telah long march ke Jawa Barat.

Di Yogyakarta, Edhi mulai menunjukkan bakat seninya. Berkat bimbingan pelukis kenamaan Hendra Gunawan, ia diterima sebagai siswa pendengar di Akademi Seni Rupa Republik Indonesia (ASRI). Ia juga bergabung dengan kelompok Pelukis Rakyat bersama nama-nama besar seperti Affandi, Trubus, dan C.Y. Ali. Pada tahun 1952, ia ikut dalam proyek pembuatan monumen Tugu Muda di Semarang, yang diresmikan oleh Presiden Sukarno setahun kemudian.

Karya Edhi diakui secara internasional ketika ia meraih posisi kedua dalam International Sculpture Competition di London pada 1953 dengan karya berjudul “The Unknown Political Prisoner”. Dua tahun kemudian, ia menerima beasiswa dari UNESCO untuk belajar di Visva Bharati Rabindranath Tagore University, Santiniketan, India. Selama di India, Edhi mendapatkan penghargaan emas dalam kategori The Best Exhibit di All India Fine Art and Exhibition serta penghargaan dari Calcutta University.

Karier Profesional yang Gemilang

Sepulang dari India pada 1958, Edhi memulai karier sebagai pendidik dan pematung profesional. Ia mengajar di berbagai institusi seni seperti ASRI (kini ISI Yogyakarta), Akademi Kesenian Surakarta, dan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Negeri (IKIP) Yogyakarta. Sebagai pematung, Edhi dikenal dengan aliran realis dan karya-karya monumentalnya yang sarat nilai nasionalisme.

Monumen-monumen karyanya telah menjadi ikon sejarah Indonesia, termasuk Monumen Selamat Datang di Jakarta, Monumen Pembebasan Irian Barat, diorama sejarah di Museum Nasional, dan Monumen Dirgantara. Edhi menggunakan berbagai media seperti perunggu, kayu, dan batu dalam karyanya, menunjukkan fleksibilitas dan kreativitasnya sebagai seniman.

Pada tahun 1959, karyanya dipamerkan dalam sebuah pameran bersama karya istrinya, Kustijah. Keharmonisan pasangan ini memperkuat jejak seni Edhi di ranah seni rupa Indonesia.

Atas kontribusinya yang luar biasa dalam seni dan kebudayaan, Pemerintah Indonesia menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma pada 12 Agustus 2003. Penghargaan ini menjadi salah satu bukti dedikasi Edhi dalam memajukan seni dan kebudayaan nasional.

Edhi Sunarso meninggal dunia pada 4 Januari 2016 di Yogyakarta setelah menjalani perawatan di Jogja International Hospital. Ia meninggalkan empat anak dan sebelas cucu, serta warisan karya seni yang tak ternilai harganya. Namanya akan selalu dikenang sebagai maestro patung realis yang telah mengukir sejarah melalui karyanya. [UN]