Patung Dirgantara-
Patung Dirgantara atau lebih dikenal sebagai Patung Pancoran karena berada di simpang Pancoran (foto: istimewa)

Pada masa 1960-an Presiden Sukarno banyak memberikan gagasan untuk pendirian patung dan monumen di Jakarta. Salah satunya Patung Dirgantara. Patung itu terletak di persimpangan Jalan Gatot Subroto, Jalan Pasar Minggu, dan Jalan Supomo. Sejak lama masyarakat menyebutnya daerah Pancoran, tepatnya Pancoran-Pasar Minggu, untuk membedakan dari nama sejenis, Pancoran-Glodok. Maka nama Patung Dirgantara lebih populer disebut Patung Pancoran. 

Patung Dirgantara berbentuk cukup unik karena tiangnya melengkung. Tinggi patung 11 meter dengan berat 11 ton. Bahan patung dari perunggu. Tinggi kaki atau pedestal 27 meter, sementara panjang lengkung 36 meter.  Patung itu hadap utara tapi bisa dilihat dari segala arah secara lengkap dari atas ke bawah. 

Lokasi patung terbilang strategis karena wilayah tersebut merupakan pintu gerbang Jakarta Selatan dari arah Lapangan Terbang Internasional ketika itu, Halim Perdanakusuma. Uniknya, menurut buku Konservasi Patung Dirgantara (Pusat Konservasi Cagar Budaya, 2015), secara administratif Patung Dirgantara masuk ke dalam dua wilayah. Bagian bawah pedestalnya masuk wilayah Jakarta Selatan, sementara bagian patungnya masuk wilayah Jakarta Pusat.

Patung Dirgantara dibangun pada 1964-1965 ditujukan untuk penghargaan Angkatan Udara Republik Indonesia dengan cita-cita serta keyakinan mampu menguasai dirgantara sebagaimana bangsa-bangsa maju di dunia. Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) pernah berlokasi dekat Patung Dirgantara, namun selanjutnya pindah ke Cilangkap. 

Perancang patung seorang seniman, Edhi Sunarso. Ketika itu Presiden Sukarno menghendaki gambaran tentang penerbangan Indonesia. Setelah menggagas, Sukarno mencontohkan dengan tubuhnya bagaimana seharusnya patung tersebut dibuat. Sukarno terinspirasi oleh kosmonot asal Rusia, Yuri Gagarin, yang berhasil ke ruang angkasa. 

Wajah Patung Dirgantara mengambil sosok Gatot Kaca, tokoh wayang paling populer. Sedangkan bentuk tangan patung yang seperti hendak terbang memiliki nilai filosofi agar anak muda memiliki cita-cita setinggi langit.

Kepada Edhi Sunarso, sebagaimana buku Konservasi Patung Dirgantara, Sukarno antara lain berkata, “…Dhi, saya mau membuat Patung Dirgantara untuk memperingati dan menghormati para pahlawan penerbang Indonesia. Kau tahu kalau bangsa Amerika, bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya. Indonesia, apa yang bisa kita banggakan? Keberaniannya!… 

Ketika menerima permintaan Sukarno, sebenarnya Edhi sempat ragu. Soalnya, ia belum pernah membuat patung dengan bahan perunggu. Kata Sukarno ketika itu, “…hey Dhi, kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara tidak? Apa perlu saya menyuruh seniman luar untuk mengerjakan monumen dalam negeri sendiri? Saya tidak mau kau coba-coba, kau harus sanggup!… (hal. 18). Akhirnya Edhi menyanggupi. 

Tahap pertama, Edhi mempresentasikan rancangannya dalam bentuk model dari gypsum di hadapan Presiden Sukarno untuk mendapatkan masukan. Patung model tersebut kemudian ia serahkan kepada Museum Seni Rupa dan Keramik pada 1977 untuk dipamerkan. Patung model Dirgantara beratnya hampir 75 kilogram dengan ketinggian patung 60 sentimeter atau berskala hampir sepertiga ukuran orang sebenarnya.  

Patung model itu baru ditemukan kembali setelah 1994 di dalam storage Museum Seni Rupa dan Keramik di kawasan Kota Tua Jakarta. Kondisinya sudah sangat rusak, bahkan ada bagian yang hilang yakni patahan tangan dan sayap. 

Menurut Candrian Attahiyyat yang pernah menjabat Kepala Balai Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta, patung model Dirgantara sebagai bukti sejarah ini wajib diselamatkan dari ancaman kerusakan yang lebih parah. Ancamannya berupa kerapuhan pada partikel gypsum yang diperkuat kawat. Demikian juga cat minyak yang melapisi seluruh permukaan gypsum mulai rontok akibat kurang senyawa.  Sejak 2014 instansi itu berubah nama menjadi Pusat Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta.

Untuk mewujudkan impiannya mendirikan Patung Dirgantara, banyak kendala yang ditemui Edhi Sunarso. Ketiga kendala itu adalah material, pendanaan, dan situasi politik.

Berdasarkan perhitungan teknis, Edhi mengajukan Rp 12 juta untuk biaya pembuatan dan pengiriman ke Jakarta kepada Sukarno. Sukarno pun menyetujui tapi tanpa ada kontrak tertulis atau dokumen perjanjian lain. Setelah itu pemerintah memberi uang muka Rp 5 juta, secara pribadi Sukarno berjanji akan menyumbang Rp 1 juta, selebihnya menjadi utang pemerintah. Dengan uang muka dari pemerintah dan modal sendiri itulah, Edhi mulai bekerja.

Pemasangan Patung Dirgantara mengalami kendala karena peristiwa G30S. Setelah itu juga terkatung-katung di studio Edhi Sunarso di Yogyakarta. Baru pada Februari 1970 Sukarno kembali menghubungi Edhi soal pemasangan patung. Jawab Edhi, “Ya Pak. Kalau sudah ada biayanya akan segera kami pasang. Namun saat ini saya sudah tidak mempunyai uang lagi. Hutang saya sampai hari ini belum terbayar. Sampai-sampai rumah saya disegel, karena masih punya utang”.

Mendengar keterusterangan Edhi, Sukarno menyuruh pembantunya, Gafur, untuk menjualkan mobilnya yang bermerk Buick. Setelah itu seorang staf kepercayaan Sukarno menemui Edhi dan menyerahkan uang sebesar Rp 1.750.000 untuk biaya transportasi pengangkutan patung dari Yogyakarta ke Jakarta.

Masih menurut buku Konservasi Patung Dirgantara, Sukarno sering menunggui pemasangan patung. Alat yang digunakan cukup sederhana, yakni dengan derek tarikan tangan. Agar mudah, patung tersebut dibagi dalam potongan kecil seberat 80-100 kilogram.

“Ketika sampai pengelasan pada bagian pinggang, saya melihat ke bawah banyak orang memenuhi lapangan sekitar monumen, ternyata Soekarno tengah melakukan peninjauan. Padahal kondisi kesehatan Sukarno saat itu sedang sakit dan sudah tinggal di Wisma Yaso,” demikian kenang Edhi (hal. 21). Sekarang Wisma Yaso menjadi Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto. 

April 1970 Sukarno yang masih kurang sehat, kembali meninjau proses pemasangan. Rencananya Mei 1970 Sukarno akan meninjau pemasangan patung untuk ketiga kalinya. Sayang tidak terlaksana karena sakit Sukarno semakin serius.

Pada 21 Juni 1970 pagi, ketika Edhi sedang berada di puncak Patung Dirgantara, terlihat iring-iringan mobil jenazah di bawah monumen. Ternyata itu jenazah Sukarno yang dibawa dari Wisma Yaso menuju pangkalan udara Halim Perdanakusuma yang selanjutnya diberangkatkan menuju Blitar. Edhi Sunarso sendiri meninggal pada Senin, 4 Januari 2016 di Yogyakarta.  

Pada 2003 pemerintah merencanakan penambahan jalan baru, paralel dengan jalan tol yang ada.  Rencana tersebut sudah tentu akan menggusur Patung Dirgantara. Dikhawatirkan pula Patung Dirgantara akan kehilangan kesan monumental. Apalagi Patung Dirgantara belum dinyatakan secara tertulis sebagai cagar budaya, sehingga kurang mendapat perlindungan.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah kemudian menunjuk konsultan untuk merelokasi patung tersebut. Dalam rancangannya, konsultan mengajukan empat alternatif. Pertama, lokasi monumen tetap, tetapi pedestal ditinggikan. Kedua, lokasi dipindah sebelah selatan perempatan, pedestal ditinggikan. Ketiga, lokasi dipindah ke sudut lahan bekas MBAU, pedestal ditinggikan. Keempat, lokasi dan pedestal tetap, dilakukan penataan lansekap dan lingkungan sekitar. Akhirnya alternatif keempat yang dipilih, sehingga Patung Dirgantara masih tetap berada di lokasi asli.  

Sejak 1970 Patung Dirgantara tidak pernah mendapat perawatan yang memadai, tentu saja karena letaknya yang tinggi dan kurangnya tenaga terampil. Akibatnya terjadi penumpukan debu dan kotoran. Belum lagi gas yang menempel pada permukaan patung akibat asap kendaraan, penggaraman, korosi, dan jasad renik pada permukaan.

Konservasi Patung Dirgantara, termasuk beberapa patung lain, terakhir dilakukan pada September 2014. Didiagnosis kondisi patung sudah sangat kronis karena kena polusi zat-zat berbahaya yang bersifat korosif.   Pusat Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta melibatkan pemanjat tebing bersertifikasi untuk melakukan konservasi. Instansi itu merekrut orang-orang yang punya sertifikasi panjat tebing.  

Sang penggagas dan perancang telah tiada. Namun patung itu tetap akan dikenang sepanjang masa.  Pasti banyak yang belum tahu kalau patung tersebut tidak pernah diresmikan oleh pejabat yang berkuasa. Bahkan pemerintah masih berhutang uang kepada Edhi Sunarso. [DS]