Artinya, politik dekolonialisasi sendiri masih berjalan hingga saat ini, hanya saja yang dilawan oleh negara dunia ketiga bukan lagi bentuk imperialisme dan kolonialisme fisik, namun sudah merambah ke bentuk tekanan ekonomi yang ditujukan dalam bentuk penyesuaian strukturisasi ekonomi makro. “Neokolonialisme dalam bentuk penjajahahan ekonomi memang sudah menjadi bayangan Soekarno pada tahun 1963 ketika menjabarkan konsep Trisakti (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian secara sosial budaya). Maka, dalam konteks inilah pemikiran-pemikiran Soekarno, seperti revolusionerisme, anti-imperialisme, dan anti-kolonialisme, pancasilaisme, maupun dunia baru menjadi inti dari pemikiran third worldism yang menjadi ‘teologi pembebasan’ bagi negara dunia ketiga untuk meraih kesederajatan dan kesamarataan,” kata Wasito.
Dalam versi pemikiran Soekarno, dunia ketiga adalah dunia impian bagi terwujudnya perdamaian, kesetaraan, dan kesejahteraan yang terbebas dari segala bentuk intervensi kekuatan asing. Dunia ketiga seperti yang Bung Karno bayangkan dalam pidatonya berjudul “Build A New World” pada sidang Majelis Umum Ke-15 Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah dunia yang menjadi tempat semua orang bisa hidup damai, dunia yang terdapat keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang, serta dunia yang menjadi tempat bagi rasa kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya.
“Perspektif Soekarno tersebut sangatlah berbeda dengan perspektif Barat bahwa dunia ketiga adalah dunia yang tanpa harapan (hopeless), yang tidak bisa berbuat apa pun sepeninggal kolonialisasi. Adanya ekspektasi Bung Karno terhadap dunia ketiga tersebutlah yang kemudian membuat berbagai macam pemikirannya mudah diterima di komunitas pemimpin dunia ketiga,” tulis Wasisto.
Tentu saja, ekspektasi Bung Karno tersebut bukanlah impian kosong. Bung Karno pastilah telah memperhitungkan berbagai macam potensi yang ada di dunia ketiga. “Seperti halnya mayoritas 80 persen penduduk dunia yang berasal dari dunia ketiga, yang bisa dijadikan sebagai tenaga pendorong ekonomi maupun pendorong konsumsi masyarakat, 85 persen perekonomian Barat dan negara kapitalis industrialis lainnya disokong dari hasil perdagangan ekstraktif, dan 75 persen energi disumbangkan oleh negara dunia ketiga melalui hasil tambang dan mineral berupa minyak dan gas bumi, batu bara, dan sumber energinya,” kata Wasisto lagi.
Pemikiran, sikap, dan tindakan Bung Karno yang berani berbeda dengan negara adidaya dan konco-konconya itu bukannya tanpa risiko. Sejumlah sumber mengungkapkan, upaya-upaya penjatuhan Bung Karno dari kursi kepresidenan antara lain didalangi oleh mereka, termasuk Gerakan 30 September 1965, yang oleh beberapa pengamat disebut sebagai bagian dari “kudeta merangkak”.
Keberanian semacam itu juga pernah ditunjukkan putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, ketika menjadi presiden. Megawati dengan tegas menolak upaya negara-negara Barat yang ingin mendomplengkan kepentingan mereka dalam pemberantasan teroris. Juga ketika Megawati mengungkapkan ketidaksetujuan atas invasi Barat terhadap Irak, yang dilakukan tanpa seizin Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hasilnya: Megawati cukup tiga tahun saja duduk di kursi orang nomor satu di republik ini.
Adakah presiden yang sekarang berkuasa sekarang, yang notabe kader dari PDI Perjuangan, dapat seberani Bung Karno dan Megawati? [PUR]
* Tulisan ini pernah dimuat pada 1 Juni 2016