Ilustrasi kekerasan dan pengekangan berekspresi [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Aksi aparat kepolisian terhadap aktivis dan wartawan pada 16 Agustus lalu menambah deretan kasus kekerasan pada rezim Joko Widodo – Jusuf Kalla. Kaum buruh dan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat alias Gerak ditangkap dan dipukuli aparat ketika menggelar aksi di depan Gedung MPR/DPR.

Dikatakan pengurus Nasional Sentral Gerakan Buruh Akbar Rewako mengatakan, sejumlah peserta aksi mendapat kekerasan dari aparat hingga pemukulan. Aparat sewenang-wenang kepada rakyat yang ingin menyampaikan aspirasinya. Itu sebabnya, Akbar meminta aparat menghentikan tindakan represif kepada rakyat.

Selain aktivis buruh, pada aksi itu, wartawan juga mendapat intimidasi dan kekerasan dari aparat hanya karena meliput aksi demo itu. Wartawan SCTV, misalnya, mendapat pemukulan dari aparat kepolisian karena merekam aksi buruh tersebut. Ia dipukul di depan Stasiun TVRI.

Kasus serupa juga dialami wartawan Viva yang merekam aksi kepolisian membubarkan paksa aksi kaum buruh itu. Kendati telah menjelaskan identitasnya sebagai wartawan, polisi itu mengancam akan menangkapnya apabila rekaman video itu tidak dihapus. Wartawan foto Bisnis Indonesia, Nurul Hidayat juga mendapat perlakuan serupa. Aparat kepolisian memaksanya untuk menghapus foto penangkapan para buruh yang dibawa ke mobil tahanan.

Apa yang dialami aktivis buruh dan wartawan ini merupakan deretan panjang kasus kekerasan yang terjadi di masa Jokowi – Jusuf Kalla. Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, Direktur Eksekutif Walhi NTB, Murdani mengalami teror dan intimidasi pada Januari lalu. Rumahnya di NTB dibakar oleh orang tidak dikenal. Kendati api mampu dipadamkan, rumah dan kendaraan pribadi Murdani hangus terbakar.

Pembakaran itu diduga karena aktivis Murdani sebagai aktivis Walhi yang acap mengkritik aktivitas pertambangan di wilayah itu. Dugaan pelakunya mengarah kepada sektor korporasi tambang yang bermasalah. Apalagi Murdani bersama Walhi NTB acap mengecam keras pengusaha tambang yang mengabaikan lingkungan hidup. Elsam karena itu menilai peristiwa yang menimpa Murdani sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap pembela HAM atas lingkungan.

Merujuk kepada Laporan Situasi Pembela HAM atas Lingkungan periode November 2017 hingga Desember 2018 yang diterbitkan Elsam, maka setidaknya ada 8 pelanggaran hak akibat tindakan kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap pembela HAM atas lingkungan. Adapun pelanggaran itu adalah pelanggaran terhadap integritas personal; hak atas kebebasan; hak untuk berpindah; hak untuk bertempat-tinggal; hak atas hidup; hak perempuan; hak anak; dan hak atas rasa aman. Atas dasar ini, pembakaran rumah Murdani jelas merupakan pemberangusan terhadap hak atas rasa aman, juga mengancam hak atas hidupnya beserta keluarga bahkan warga sekitar rumahnya. Pembakaran rumah juga merenggut haknya atas penghidupan yang layak.

Di samping itu, laporan Elsam itu menjelaskan tindakan intimidasi adalah bentuk pelanggaran yang paling sering terjadi sepanjang 2018. Pembakaran rumah Murdani meninggalkan pesan kuat bahwa perlawanannya terhadap aktivitas perusahaan tambang akan menjadi boomerang terhadap dirinya. Intimidasi itu bertujuan untuk menekan suara para pembela HAM atas lingkungan di Indonesia.

Seperti Elsam, Amnesty International Indonesia juga mencatat, polisi telah menembak mati lebih dari 70 orang dalam memberantas kejahatan jalanan di berbagai kota di seluruh Indonesia. Sepanjang Januari hingga Agustus 2018, menurut Amnesty International Indonesia, setidaknya 77 orang di berbagai wilayah ditembak mati, termasuk 31 orang di Jakarta dan Palembang, Sumatera Selatan. Dua kota ini merupakan lokasi pelaksanaan Asian Games 2018.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, penembakan-penembakan oleh polisi terjadi dalam operasi yang dirancang untuk mempersiapkan beberapa kota tuan rumah acara olahraga yang digelar sepanjang 18 Agustus hingga 2 September 2018. Beberapa bulan menjelang Asian Games, aparat kepolisian berjanji akan meningkatkan keamanan masyarakat. Tetapi, kenyataannya polisi menembak mati puluhan orang dengan pertanggungjawaban yang rendah.

Dengan jumlah itu, Usman menilai, pola penggunaan kekuatan oleh polisi sangat berlebihan. Dan tidak ada yang bertanggung jawab akan situasi itu. Pelaksanaan sebuah kegiatan sudah seharusnya tidak mengorbankan hak asasi manusia. Tembak mati harus dihentikan dan semua kasus kematian harus diselidiki dengan cepat dan efektif, kata Usman.

Disebutkan Usman, puncaknya penembakan tersebut terjadi sepanjang 3 Juli hingga 12 Juli 2018. Polisi menembak mati 11 orang di Jakarta dan 3 orang di Palembang sebagai bagian dari operasi pengamanan mempersiapkan kota-kota sebagai penyelenggaraan Asian Games. Di Jakarta, selain mereka yang dilaporkan tewas, ada sekitar 41 orang ditembak di bagian kaki dan sekitar 700 orang dari 5.000 orang ditangkap dengan tuduhan melakukan tindak kriminal.

Pejabat tinggi kepolisian secara terbuka mengumumkan personel polisi akan mengambil tindakan tegas termasuk menembak di tempat orang yang melawan atau menyerang petugas. Walau menuai kritik, Kepala Kepolisian RI, Tito Karnavian memerintahkan kepada anak buahnya agar menembak orang yang melawan aparat tanpa keraguan. Dari fakta itu, Amnesty International Indonesia menyimpulkan, jumlah orang yang tewas ditembak polisi akibat kejahatan jalanan dari Januari hingga Agustus 2018 meningkat 64% dibanding 2017 pada periode yang sama yaitu 47 orang.

Pengekangan
Lalu, Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) juga menilai kemerdekaan menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi pada masa pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla justru mengalami pengekangan. Umumnya mereka yang diduga menyampaikan ujaran kebencian dijerat Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Safenet mencatat, sejak Jokowi-Kalla dilantik pada 2014, laporan pidana lewat UU ITE hingga Oktober 2017 mencapai sekitar 150 laporan. Dengan kata lain, ada sekitar minimal 2 laporan atau maksimal 15 laporan per bulan.

Data lembaga tersebut juga menyebutkan, walau postingan aktivis di media sosial berbasis data dan fakta, mereka tetap dikenai UU ITE. Tujuannya adalah untuk membungkam fakta dan data. Itu sebabnya, indeks demokrasi Indonesia juga cenderung menurun dari 2015 hingga 2017. Untuk 2015 indeks demokrasi Indonesia berada di level 73,04, lalu 2016 menjadi 72,82 dan 2017 menjadi 70,09. Indikator penurunan berbasis kalkulasi kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi.

Soal tingkat kebebasan pers di Indonesia juga pernah mendapat sorotan. Reporters Without Borders lembaga yang mengamati tingkat kebebasan pers di suatu negara pernah merilis Indeks Kebebasan Pers Indonesia 2018 yang berada di posisi 124 dari 180 negara. Salah satu faktor mengukur posisi Indeks Kebebasan Pers merujuk kepada Presiden Joko Widodo yang tidak menepati janji kampanyenya.

Masa kepemimpinannya ditandai dengan banyak pelanggaran kebebasan pers yang serius, terutama membatasi akses media ke Papua dan Papua Barat. Di kedua provinsi itu, tingkat kekerasan terhadap wartawan terus meningkat. Wartawan asing bahkan bisa ditangkap apabila ketahuan mendokumentasikan pelanggaran tentara terhadap warga Papua.

Kemudian, di samping UU Informasi Transaksi Elektronik, pemerintah dan DPR juga sedang membahas aturan yang termuat dalam Rancangan KUHP yang setidaknya memuat sekitar 16 beleid dan mengancam kebebasan pers serta kebebasan berekspresi masyarakat. Salah satunya tentang membocorkan rahasia negara. Melalui aturan demikian, maka para wartawan rentan masuk penjara karena pasal karet itu.

Wartawan bisa dijerat secara hukum jika memberitakan informasi atau dokumen yang dianggap sebagai rahasia negara. Padahal dalam rangka kerja jurnalistik, memberitakan dokumen tersebut agar informasi yang diberitakan itu akurat dan mendekati kebenaran. [Kristian Ginting]