Suku Kajang. (Wikimedia Commons)

Di negeri yang kaya akan keberagaman ini, modernisasi kerap kali menjadi gelombang besar yang menyapu bersih identitas kultural masyarakat. Namun, di balik hiruk-pikuk pembangunan dan derasnya arus digitalisasi, masih ada komunitas-komunitas adat yang memilih untuk tetap berjalan di jalur berbeda, jalur sunyi yang penuh keteguhan pada warisan leluhur.

Salah satu komunitas tersebut adalah Suku Kajang, seperti halnya Suku Baduy, Suku Samin, atau Suku Polahi, Suku Kajang dikenal karena keteguhannya dalam menjaga kelestarian nilai-nilai leluhur secara turun-temurun yang hidup dalam keseimbangan dengan alam dan nilai-nilai tradisi yang nyaris tak tergoyahkan.

Mereka bukan sekadar bagian dari masa lalu yang tertinggal, melainkan penjaga jati diri bangsa yang berakar kuat pada filosofi hidup sederhana, setara, dan menyatu dengan lingkungan. Siapa sebenarnya mereka, dan apa makna mendalam dari kehidupan serba hitam yang mereka jalani? Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ulasan singkat mengenai Suku Kajang.

Wilayah Kajang dan Filosofi Hitam

Suku Kajang adalah salah satu komunitas adat yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, sekitar 200 kilometer dari Kota Makassar. Suku Kajang terbagi menjadi dua wilayah utama, yakni Kajang Dalam dan Kajang Luar. Kajang Dalam merupakan kawasan inti di mana masyarakat benar-benar hidup dalam nilai-nilai adat yang ketat. Wilayah ini juga dikenal sebagai kawasan Ammatoa, dan untuk memasukinya, pengunjung diwajibkan mengikuti aturan adat, seperti tidak mengenakan alas kaki dan memakai pakaian berwarna hitam.

Warna hitam bukan sekadar simbol kesederhanaan. Bagi masyarakat Kajang, warna ini mencerminkan persamaan derajat, kekuatan, dan persatuan. “Semua hitam adalah sama,” demikian keyakinan mereka. Warna hitam juga menjadi wujud penghormatan terhadap alam, terutama hutan yang mereka yakini sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga.

Ammatoa: Pemimpin Adat

Kehidupan masyarakat Kajang berporos pada sosok Ammatoa, pemimpin adat tertinggi yang dipercaya sebagai orang suci dan pilihan Tuhan. Amma artinya Bapak, sedangkan Toa berarti yang dituakan. Bagi masyarakat Kajang, Ammatoa adalah orang suci yang dipilih langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Gelar ini bukan hasil pemilihan umum atau warisan garis keturunan. Ammatoa ditunjuk melalui ritual sakral di hutan keramat Tombolo, dalam sebuah proses yang diyakini sebagai kehendak dari Turiek Akrakna (yang berkehendak).

Ammatoa menjabat seumur hidup dan menjadi simbol moral sekaligus penjaga hukum adat yang disebut pappasang (aturan tak tertulis) yang menjadi panduan hidup masyarakat Kajang. Tidak ada listrik, tidak ada teknologi digital, dan semua aktivitas dilakukan secara natural, mengikuti harmoni alam dan adat istiadat yang diwariskan.

Keberadaan Ammatoa tidak hanya sebagai pemimpin simbolik, melainkan sebagai figur yang menjalankan nilai-nilai luhur masyarakat Kajang. Ada empat nilai utama yang menjadi dasar dalam sistem kepemimpinan adat ini:

1. Nilai Kejujuran

Nilai Kejujuran merupakan landasan pokok yang dijalankan oleh masyarakat Suku Kajang dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia. Maka dari itu karaeng atau pimpinan sangat diakui memiliki sifat yang jujur oleh masyarakat.

Sejalan dengan ungkapan masyarakat Kajang yaitu lambusunuji nukareng yang artinya karena kejujuranmu maka engkau jadi karaeng.

2. Nilai Keteguhan

Keteguhan atau yang disebut gattang oleh masyarakat Suku Kajang. Yang artinya kuat dan tangguh dalam pendirian. Peradilan adat Suku Kajang tidak pernah membedakan atau memihak. Walaupun kerabat atau anak sendiri, akan tetap diputuskan bersalah apabila memang bersalah.

3. Nilai Demokrasi

Meskipun Ammatoa tidak dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi pelaksanaan kepemimpinan tetap melibatkan rakyat. Artinya aspirasi dari masyarakat tetap ditampung dan dipertimbangkan oleh Ammatoa. Kemudian menjadi kebijakan dan tindakan yang akan dilakukan oleh Ammatoa.

4. Nilai Persatuan

Sebuah hubungan persatuan dan kebersamaan masyarakat Suku Kajang disebut juga dengan assikajangeng yang artinya sama-sama orang Kajang. Ammatoa selalu berusaha menjaga persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat kawasan adat, maupun Kajang luar.

Salah satu wujud persatuannya adalah bermusyawarah atau yang mereka sebut abborong. Mereka akan melakukan musyawarah ketika hendak melakukan kegiatan.

Suku Kajang adalah cermin dari kekuatan budaya lokal yang mampu bertahan dari gempuran modernitas. Mereka tidak sekadar menolak teknologi, tetapi lebih memilih untuk hidup dalam keselarasan dengan alam dan leluhur. Dalam hitam, mereka menemukan kekuatan; dalam keheningan hutan, mereka merawat nilai; dan dalam setiap langkah tanpa alas kaki, mereka menjaga bumi. [UN]