Masa abad ke-19 meluncur turun dengan cepat dan kapitalisme di seluruh dunia memasuki tahapan baru, yakni tahap imperialisme modern di Indonesia pun imperialisme modern datang menggantikan mperialisme kolot pada tahun 1870, dengan segala akibat dan manifestasinya; kekayaan kemewahan, keangkuhan pada bangsa kulit putih dan kemiskinan, kemelaratan, dan perbudakan pada rakyat Indonesia.

Di Jawa Timur, dengan pelabuhan Surabaya sebagai jantungnya segala kegiatan, terjadi penumpukan kekayaan di suatu pihak dan pemeralatan di lain pihak berjalan dengna sangat pesat dan memedihkan.

Keluarga Sosro Soekemi, ayahanda Bung Karno, mendapat juga bagian dari kemiskinan itu. Tapi, tidaklah segelap seperti yang dilukiskan didalam buku Cindy Adam. Keluarga itu tidak termasuk dalam golongan yang berada, apalagi kaya, memang mereka termasuk dalam “golongan orang kecil”.

Tubuh Bung Karno yang tegap dan vitalitasnya yang melebihi orang lain dapat dijadikan satu bukti bahwa dia di masa pertumbahannya cukup memperoleh makanan yang diperlukan.

Tetapi, imperialisme bukan saja memperbudak dan memperalat rakyat yang ditindasnya, melainkan juga lambat laun menimbulkan keinginan baru, pikiran baru, yaitu keinginan dan usaha kemerdekaan.

Kita lihat beberapa negara lain, seperti Mesir, India, dan Tiongkok, mendahului Indonesia dalam hal ini.