RA Kartini(Wikimedia Commons)

Setiap bangsa memiliki sosok-sosok yang tak hanya mengukir sejarah lewat tindakan besar, tetapi juga melalui pemikiran yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Dalam sejarah panjang perjuangan Indonesia, kita kerap mengingat nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, dan Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan yang membawa perubahan besar bagi negeri ini. Namun di balik deretan nama-nama besar itu, ada suara lembut dari seorang perempuan ningrat yang tulisannya mampu mengguncang kesadaran banyak orang yaitu Raden Ajeng Kartini.

Kartini bukan pejuang dengan senjata, bukan pula tokoh politik yang berdiri di panggung-panggung besar. Namun lewat pena dan pikirannya, ia memperjuangkan sesuatu yang jauh lebih mendasar: hak perempuan untuk berpikir, bermimpi, dan mengenyam pendidikan. Dari balik tembok pingitan di rumahnya di Jepara, Kartini mengirimkan suara yang tak bisa dibungkam oleh adat maupun zaman. Ia menulis tentang keinginan menjadi manusia seutuhnya, tentang harapan akan masyarakat yang lebih adil, serta kerinduan terhadap dunia yang memberi ruang yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk tumbuh.

Kini, setiap tanggal 21 April, kita mengenang namanya dalam peringatan Hari Kartini. Tapi lebih dari sekadar mengenakan kebaya atau meramaikan lomba bertema budaya, momen ini sejatinya adalah undangan untuk merenung, sudah sejauh mana kita mewujudkan cita-cita yang ia titipkan dalam surat-suratnya? Apakah kesetaraan yang ia impikan telah benar-benar menjadi kenyataan?

Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai bentuk penghormatan kepada Raden Ajeng Kartini, sosok perempuan luar biasa yang telah menorehkan jejak penting dalam sejarah perjuangan emansipasi wanita di tanah air. Hari Kartini bukan sekadar rutinitas tahunan dengan pakaian adat atau upacara seremonial semata, melainkan momen reflektif untuk mengenang warisan perjuangan Kartini dan menggali kembali semangatnya yang relevan hingga kini: bahwa perempuan berhak untuk bermimpi, berpikir, dan berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kartini, Cahaya dari Jepara yang Tak Pernah Padam

Lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879, Kartini merupakan putri dari pasangan Raden Mas Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Sebagai anak dari kalangan bangsawan Jawa, ia memiliki hak istimewa yang langka saat itu: kesempatan untuk bersekolah di Europesche Lagere School (ELS), sekolah dasar dengan pengantar bahasa Belanda yang diperuntukkan bagi anak-anak elit pribumi.

Namun, pendidikan formal Kartini hanya berlangsung hingga usia 12 tahun. Tradisi yang mengharuskan perempuan bangsawan menjalani pingitan memaksa Kartini untuk menghentikan pendidikannya. Meski berada dalam keterbatasan, semangat belajarnya tidak pernah padam. Kartini mengubah ruang tamannya menjadi perpustakaan mini, membaca buku-buku pengetahuan, dan menulis surat kepada sahabat-sahabat pena di Eropa. Melalui tulisan-tulisannya, Kartini menuangkan kegelisahan, harapan, dan pandangannya tentang kesetaraan gender, pentingnya pendidikan, serta nasib perempuan pribumi yang kerap dipinggirkan.

Kartini sangat terinspirasi oleh kemajuan berpikir wanita-wanita Eropa. Ia menyadari bahwa ketimpangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu bentuk ketidakadilan struktural yang harus diperjuangkan. Baginya, perempuan tidak cukup hanya ditempatkan di dapur, sumur, dan kasur, melainkan juga harus diberikan akses terhadap ilmu pengetahuan dan ruang untuk berperan di tengah masyarakat.

Relasi Pemikiran dengan Jacques Henrij Abendanon

Salah satu tokoh penting dalam perjalanan intelektual Kartini adalah Jacques Henrij Abendanon, seorang pejabat kolonial Belanda yang dikenal sebagai pendukung reformasi sosial dalam kebijakan Politik Etis. Abendanon, melalui rekomendasi Snouck Hurgronje, mulai menjalin komunikasi dengan Kartini. Hubungan intelektual ini berkembang erat, tak hanya dengan Kartini tetapi juga dengan kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah. Istri Abendanon, Rosa Manuela, bahkan menjadi mentor diskusi yang memperkenalkan Kartini pada ide-ide progresif tentang pendidikan dan kesetaraan.

Namun, hubungan ini tidak selalu harmonis. Meskipun Abendanon mendukung cita-cita Kartini dalam bidang pendidikan, ia pernah menolak permintaan Kartini untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda. Keputusan ini dilandasi oleh kekhawatiran bahwa keberadaan perempuan pribumi di luar negeri bisa menimbulkan pertanyaan moral dalam konteks kolonial. Terlepas dari itu, Abendanon tetap memegang peran penting dalam mewariskan pemikiran Kartini ke dunia.

Setelah Kartini wafat dalam usia muda, tepatnya 17 September 1904, empat hari pasca melahirkan anak pertamanya, Soesalit Djojoadhiningrat. Abendanon mengumpulkan surat-suratnya dan menerbitkannya dalam buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) pada tahun 1911. Buku ini menjadi medium utama yang menyuarakan pemikiran Kartini kepada dunia internasional, menjadikan namanya abadi dalam sejarah intelektual Indonesia.

Penetapan Hari Kartini

Penetapan Hari Kartini sebagai peringatan nasional dilakukan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 oleh Presiden Soekarno. Tanggal 21 April dipilih bukan hanya karena bertepatan dengan hari kelahiran Kartini, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan terhadap perannya sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Kartini menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan sosial yang dialami perempuan Indonesia pada masa penjajahan.

Mengutip dari laman resmi Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan, Hari Kartini bukan hanya menjadi momen untuk mengenang masa lalu, tetapi juga mengajak masyarakat untuk menghargai peran perempuan masa kini dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam ranah pendidikan, ekonomi, politik, hingga sosial dan budaya, perempuan telah banyak menunjukkan kontribusi yang nyata. Namun demikian, tantangan terhadap kesetaraan gender masih tetap ada, dan di sinilah semangat Kartini terus dibutuhkan.

Semangat Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan akses pendidikan menjadi pondasi penting dalam pembangunan bangsa. Hari ini, kita menyaksikan perempuan Indonesia telah mampu menduduki posisi strategis, menjadi pemimpin, ilmuwan, seniman, pengusaha, dan pelaku perubahan sosial. Namun, perjuangan itu belum selesai. Ketimpangan akses pendidikan, kekerasan berbasis gender, serta stereotip sosial masih menjadi pekerjaan rumah bersama.

Semangat Kartini mengajarkan bahwa perjuangan tidak harus dilakukan dengan angkat senjata. Ia menunjukkan bahwa pena, buku, dan pikiran yang merdeka bisa menjadi senjata ampuh dalam mengubah dunia. Kesetaraan yang ia dambakan adalah hak dasar setiap manusia untuk berkembang, belajar, dan berkontribusi, tanpa dibatasi oleh jenis kelamin maupun latar belakang sosial.

Hari Kartini bukan hanya perayaan simbolik, melainkan momen untuk merenungkan kembali visi seorang perempuan yang melampaui zamannya. Raden Ajeng Kartini telah menyalakan api perjuangan yang terus menyala, menjadi inspirasi tak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi seluruh elemen bangsa. Melalui pemikiran dan perjuangannya, ia telah mewariskan pesan yang abadi: bahwa dari kegelapan keterbelakangan dan ketidakadilan, cahaya kemajuan akan lahir melalui pendidikan dan kesetaraan.

Mari kita terus hidupkan semangat Kartini dalam kehidupan sehari-hari, menjadikannya bukan hanya sebagai simbol masa lalu, tetapi juga sebagai acuan dalam memajukan kehidupan bangsa yang adil tanpa memandang gender. [UN]