Siti Rohana Kudus (1884 - 1972)
Siti Rohana Kudus (1884 - 1972)

Koransulindo.com – Dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, nama perempuan sering kali menjadi catatan kaki. Di antara nama-nama besar tokoh laki-laki yang menghiasi buku pelajaran, hanya sedikit perempuan yang dikenal sebagai pelopor perubahan sosial. Namun dari dataran tinggi Minangkabau, lahirlah seorang perempuan yang menolak dibungkam oleh sistem kolonial dan adat yang patriarkal: Siti Rohana Kudus.

Lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat pada 20 Desember 1884, Rohana adalah buah dari keluarga cendekia. Ia merupakan kakak tiri dari Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Sejak kecil, ia telah menunjukkan kecintaan pada ilmu dan pendidikan. Meski tak mengenyam pendidikan formal dalam sistem kolonial Belanda, ia belajar secara otodidak membaca dan menulis dalam bahasa Melayu, Arab, dan Belanda.

Pendidikan dan pemikiran progresif itu bukan hanya menjadi miliknya sendiri. Ia merasa bahwa perempuan di sekitarnya, yang dicekam adat dan dipinggirkan sistem kolonial, juga berhak atas pengetahuan. Maka pada usia muda, ia mulai mengajar membaca dan menulis kepada anak-anak perempuan di rumahnya. Dari ruang kecil itulah cita-cita besar itu tumbuh.

Sekolah dan Surat Kabar untuk Emansipasi

Tahun 1911, Rohana mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia di Payakumbuh, sebuah lembaga pendidikan untuk perempuan yang berfokus pada keterampilan praktis seperti menjahit, merenda, dan membaca. Namun lebih dari sekadar pelatihan teknis, sekolah ini menjadi ruang pembebasan: tempat perempuan diajak berpikir, berdiskusi, dan membayangkan masa depan di luar batas adat dan kolonial.

Dua tahun kemudian, ia mendirikan Soenting Melajoe, surat kabar perempuan pertama di Sumatra, yang dikelola dan ditulis oleh perempuan. Surat kabar ini bukan sekadar media informasi, tetapi menjadi senjata intelektual dalam melawan ketimpangan sosial dan kolonialisme. Di dalamnya, Rohana menulis tentang pentingnya pendidikan, peran perempuan dalam masyarakat, hingga kritik terhadap struktur sosial yang timpang.

Soenting Melajoe adalah bukti konkret bahwa di tengah represi kolonial, perempuan Indonesia mampu menghadirkan narasi tandingan. Ia membuka ruang bagi perempuan lain untuk menyuarakan pengalaman dan gagasan mereka, sesuatu yang pada masa itu, nyaris mustahil.

Jurnalis, Aktivis, dan Pejuang Sunyi

Tak hanya dikenal sebagai pendidik dan jurnalis, Siti Rohana juga aktif dalam organisasi pergerakan. Ia bergabung dalam Sarekat Islam, dan menjalin hubungan erat dengan tokoh-tokoh nasionalis di berbagai wilayah. Di masa ketika gerakan perempuan masih jarang terdengar, Rohana telah lebih dulu menanamkan benih kesadaran akan hak, kesetaraan, dan pentingnya partisipasi perempuan dalam perubahan sosial.

Sayangnya, nama Siti Rohana Kudus tak banyak disebut dalam narasi besar sejarah nasional. Ia tidak tampil dalam deretan wajah pahlawan di buku pelajaran. Padahal perjuangannya tak kalah penting dibanding tokoh-tokoh lelaki sezamannya.

Warisan yang Terus Menyala

Rohana wafat pada 17 Agustus 1972, tepat di hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ia turut perjuangkan, dengan caranya sendiri. Pada tahun 2019, pemerintah akhirnya menetapkan Siti Rohana Kudus sebagai Pahlawan Nasional, pengakuan yang datang terlambat, namun tetap penting.

Warisan Rohana Kudus hari ini bisa ditemukan dalam semangat jurnalisme perempuan, dalam gerakan pendidikan akar rumput, dan dalam setiap suara perempuan yang menolak tunduk pada ketidakadilan.

Ketika media hari ini makin terpusat dan kebebasan berekspresi kembali dibatasi secara halus, mengenang Siti Rohana Kudus bukan sekadar melihat masa lalu. Ia adalah pengingat bahwa perubahan sosial tak selalu lahir dari senjata dan pidato, tetapi juga dari pena, ruang kelas kecil, dan keberanian untuk bersuara di tengah sunyi. [IQT]