Cut Nyak Dien (istimewa)

Setiap kali Hari Kartini tiba, kita diingatkan akan pentingnya peran perempuan dalam membangun bangsa. Nama RA Kartini memang begitu lekat dalam ingatan kita sebagai pelopor emansipasi wanita. Tapi sesungguhnya, Indonesia punya lebih dari satu sosok perempuan luar biasa yang berjuang untuk tanah airnya, bukan hanya lewat pena, tapi juga dengan keberanian di medan perang. Salah satunya adalah Cut Nyak Dien, perempuan Aceh yang tak hanya melawan penjajahan, tapi juga rasa kehilangan, luka batin, dan usia senja. Kisah hidupnya bukan sekadar catatan sejarah, melainkan potret keteguhan hati yang menginspirasi lintas zaman.

Ia adalah sosok yang layak dikenang, tidak hanya karena perlawanan bersenjatanya, tetapi juga karena semangatnya yang tak pernah padam, bahkan hingga akhir hayat.

Masa Kecil di Tanah Bangsawan Aceh

Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848 di Lampadang, Aceh Besar, sebuah daerah yang kaya akan sejarah dan semangat perlawanan terhadap kolonialisme. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Teuku Nanta Seutia, adalah seorang panglima perang keturunan Makhdum Sati—perantau asal Minangkabau yang menetap di Aceh pada abad ke-18. Sementara itu, ibunya adalah keturunan bangsawan dari Kampung Lampagar. Lingkungan inilah yang membentuk karakter Cut Nyak Dien yang kuat, religius, dan berjiwa kepemimpinan.

Masa kecilnya diisi dengan pendidikan agama Islam serta pelatihan keterampilan rumah tangga seperti memasak, menyulam, dan melayani suami, sebuah ilmu yang dianggap penting bagi perempuan bangsawan masa itu. Namun siapa sangka, dari balik dinding rumah yang tenang itu, tumbuh jiwa pejuang yang kelak akan mengguncang penjajahan Belanda.

Pada tahun 1862, ketika berusia 14 tahun, Cut Nyak Dien dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga, seorang pemuda terpelajar dan pejuang tangguh dari Aceh. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Namun, kebahagiaan itu segera direnggut oleh konflik besar yang melanda tanah kelahirannya.

Ketika Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873, suaminya langsung turun ke medan laga. Dalam berbagai pertempuran, Teuku Ibrahim memperlihatkan keberanian luar biasa, namun pada akhirnya ia gugur dalam pertempuran melawan tentara kolonial. Kehilangan ini menjadi titik balik dalam hidup Cut Nyak Dien. Tangisan duka berubah menjadi bara semangat untuk melanjutkan perjuangan sang suami.

Beberapa bulan setelah kepergian Teuku Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dien menerima lamaran Teuku Umar, seorang tokoh penting dalam perlawanan Aceh yang juga masih memiliki hubungan darah dengannya. Mereka menikah pada tahun 1880 dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Cut Gambang.

Namun pernikahan ini bukanlah akhir dari kisah duka. Justru menjadi awal dari perjuangan lebih besar. Teuku Umar mengizinkan Cut Nyak Dien untuk ikut berperang di garis depan. Mereka menjadi pasangan pejuang yang disegani. Bersama, mereka mengguncang kekuatan Belanda hingga pasukan kolonial itu harus mengganti beberapa jenderal untuk menghadapi taktik gerilya mereka.

Kepemimpinan di Usia Senja

Pada 11 Februari 1890, sejarah kembali mencatat kehilangan besar. Teuku Umar gugur dalam sebuah pertempuran sengit. Kabar duka itu tidak mematahkan semangat Cut Nyak Dien. Sebaliknya, ia justru mengambil alih komando pasukan. Dengan usia yang semakin tua dan mata yang mulai rabun, ia tetap memimpin perlawanan dari hutan ke hutan, dari gunung ke gunung. Tidak sedikit rakyat yang tetap setia berada di bawah kepemimpinannya.

Dijuluki sebagai “Ratu Jihad”, ia terus menyalakan semangat rakyat untuk melawan penjajahan, meski kondisi pasukan mulai memburuk. Persediaan makanan semakin menipis, kesehatan dirinya pun merosot. Dalam delapan hari terakhir menjelang penangkapannya, ia bahkan hanya makan pisang bakar. Meski begitu, ia menolak untuk menyerah.

Melihat penderitaan Cut Nyak Dien yang kian parah, salah satu panglima perangnya, Pang Laot Ali, dengan berat hati mengungkapkan lokasi persembunyian mereka kepada Belanda dengan syarat bahwa Cut Nyak Dien harus dijaga dan diperlakukan dengan baik.

Setelah ditangkap di hutan Beutong pada 7 November 1906, Cut Nyak Dien sempat ditahan di Kutaraja (Banda Aceh). Kehadiran rakyat yang terus berdatangan untuk menjenguknya membuat Belanda khawatir akan munculnya gelombang perlawanan baru. Maka, pada 11 Desember 1906, ia diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, sebuah tempat yang dianggap jauh dari pengaruh Aceh.

Di Sumedang, Cut Nyak Dien tinggal di rumah Haji Sanusi, dekat Masjid Agung, di bawah pengawasan militer. Namun di tempat pengasingan inilah, semangatnya tetap menyala. Ia menghabiskan sisa hidupnya dengan mengajar agama Islam, mengaji, dan membimbing masyarakat sekitar. Bahkan dalam kondisi mata yang hampir buta, ia tetap menjadi cahaya bagi sekelilingnya.

Akhir Hayat

Cut Nyak Dien wafat pada 6 November 1908 di Sumedang. Ia dimakamkan di Gunung Puyuh, dan hingga kini, makamnya terus menjadi tempat ziarah dan penghormatan. Lewat Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 1964, ia secara resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

Tak hanya itu, bersama Teuku Umar, mereka diberi gelar kehormatan dari pemerintah Belanda sebagai Een National Heldenpaar (Pasangan Pahlawan Nasional) sebuah pengakuan atas sumbangsih besar mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme.

Cut Nyak Dien bukan hanya sekadar tokoh dalam buku sejarah. Ia adalah gambaran nyata bahwa perempuan Indonesia memiliki peran penting dan sentral dalam membangun bangsa. Dari seorang istri dan ibu, ia menjelma menjadi pemimpin perang yang tak gentar menghadapi kekuatan penjajah.

Kisah hidupnya mengajarkan kepada kita arti dari keberanian, ketabahan, dan pengabdian tanpa pamrih. Ia adalah perempuan yang tidak hanya memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya, tetapi juga memperjuangkan haknya untuk memilih jalan hidup, termasuk ikut berperang. [UN]