Gedung Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur Kuningan Jawa Barat. (foto: Sulindo/Ulfa Nurfauziah)
Gedung Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur Kuningan Jawa Barat. (foto: Sulindo/Ulfa Nurfauziah)

Kuningan – Pangeran Djatikusumah Maniswara Tedjabuwana Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat, sesepuh adat dan penjaga nilai-nilai budaya Sunda, telah berpulang ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa pada Jumat, 16 Mei 2025, pukul 10.10 WIB dalam usia 93 tahun. Kabar duka ini menjadi pukulan mendalam khususnya bagi Masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang selama ini mengenalnya sebagai tokoh utama pelestarian budaya dan spiritualitas leluhur.

Sosok yang akrab disapa Rama Pangeran Djatikusuma bukan hanya menjadi panutan dalam kehidupan spiritual, tetapi juga simbol kekuatan batin dalam menjaga kearifan lokal di tengah arus modernisasi. Kepergiannya meninggalkan ruang hampa dalam jagat kebudayaan Sunda yang selama ini ia perjuangkan dengan penuh dedikasi dan ketulusan.

Jejak Darah Leluhur dan Perjuangan Budaya

Pangeran Djatikusumah merupakan generasi ketiga dari garis keturunan tokoh besar Pangeran Madrais, Pangeran Sadewa Madrais Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat yang dikenal sebagai penggerak utama Agama Djawa Sunda (ADS), sebuah gerakan kebudayaan yang menjadi fondasi bagi eksistensi Masyarakat Adat Sunda Wiwitan. Ia adalah putra dari Pangeran Tedjabuwana Alibassa dan Ratu Saodah, menjadikan dirinya bagian dari trah agung yang memiliki andil besar dalam menjaga dan mengembangkan warisan spiritual dan budaya Sunda.

Sejak muda, Rama Djati telah menunjukkan keteguhan sikap dalam merawat nilai-nilai leluhur. Ia tidak hanya menjalani kehidupan sebagai pemimpin adat, tetapi juga sebagai guru kehidupan yang menyampaikan pentingnya hidup selaras dengan alam, penuh rasa syukur, menghormati perbedaan, dan menumbuhkan kebijaksanaan batin dalam setiap tindakan.

Salah satu wujud nyata pengabdian Rama Djati terhadap budaya leluhur dapat dilihat dari pandangannya terhadap upacara Seren Taun, sebuah perayaan sakral yang menandai akhir dan awal siklus pertanian. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu menekankan bahwa upacara ini bukan sekadar ritual syukur atau permohonan berkah, melainkan juga bentuk penghormatan kepada warisan para karuhun serta sarana memperkuat akar budaya bangsa melalui kearifan lokal yang hidup dalam keseharian masyarakat.

Dedikasi beliau terhadap pelestarian budaya tidak berhenti di tataran simbolik. Dalam berbagai forum, Rama Djati dikenal sebagai tokoh yang menyuarakan pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, serta mengajak generasi muda untuk kembali mengenali jati diri bangsa melalui warisan leluhur.

Peristirahatan Terakhir di Tanah Leluhur

Informasi yang disampaikan oleh pihak keluarga, yakni Juwita Djatikusuma dan Dewi Kanti, menyebutkan bahwa jenazah almarhum akan dimakamkan pada Minggu, 18 Mei 2025, sebelum pukul 12.00 WIB. Tempat peristirahatan terakhirnya adalah di kawasan Batu Satangtung, Blok Curug Go’ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur sebuah lokasi pribadi yang telah ia siapkan jauh-jauh hari sebagai simbol pengabdian terhadap tanah leluhur dan tempat pulang yang tenang bagi jiwa yang telah menunaikan tugasnya di dunia.

Rama Djati meninggalkan 21 cucu dan 9 buyut. Namun lebih dari sekadar garis keturunan, ia meninggalkan warisan tak ternilai berupa kebijaksanaan, nilai-nilai luhur, dan semangat juang dalam menjaga budaya bangsa yang kini menjadi tanggung jawab bersama untuk diteruskan.

Kepergian Pangeran Djatikusumah bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan undangan bagi kita semua untuk meneruskan api kearifan lokal yang telah beliau jaga sepanjang hayat. Dalam duka yang dalam, semoga kita tetap dapat meneladani ajaran dan keteladanan hidup beliau yaitu hidup dalam syukur, damai, dan selaras dengan alam serta sesama. Selamat jalan, Rama. Jasa dan baktimu abadi dalam ingatan bumi Pasundan. [UN]