Ilustrasi: Soekarno salat di Amerika Serikat/LIFE

Koran Sulindo – Lebih dari segalanya, toleransi adalah hal utama yang selalu ditekankan Soekarno, baik dalam buku-bukunya, kebijakan politik,  maupun pidato-pidatonya. Sejak dari mula Bung Karno menetapkan kepercayaan pada Tuhan adalah yang utama dan dasar segalanya dalam hidup sehari-hari dan berbangsa.

“Kami yang hidup di negara kami, yang berjuang dan berkorban untuk negeri, mencoba mengamalkan toleransi yang menurut kami adalah takdir Tuhan. Mungkin bisa dibantah, tapi toleransi adalah pusat dan nilai utama orang Indonesia,” kata Presiden Soekarno, dalam pidatonya ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Filsafat dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Penghargaan Dr HC dari Al Azhar itu adalah yang ke-16 dari 26 penghargaan serupa yang diterima Bung Karno sejak 1951 hingga 1965. Konon, di luar keilmuan Bung Karno, penghargaan dari universitas paling prestisius dalam ilmu keislaman itu disebut sebagai “balas budi” pada BK.

Kisah ini pertama terungkap dalam acara talkshow “Wallahu’alam” di kanal CBC 2, pada Agustus 2014. Ceritanya, suatu saat Presiden Mesir Gamal Abdul Naser ingin menutup Al Azhar melihat gelagat kalangan ulama Al Azhar ingin bergabung dengan Ikhwanul Muslimin untuk merongrong kekuasaannya.

“Ahmad Soekarno menanggapi, apakah engkau bakal menghapus Nil? Apakah engkau bakal menghapus piramid? Kita tidak mengenal kalian sama sekali kecuali dengan Al Azhar!”

Mantan Mufti Mesir, Syeikh Ali Jum’ah, menceritakan reaksi Bung Karno pada niat Nasser itu.

Bung Karno juga mengatakan Al Azhar dan Mesir ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Al Azhar adalah Mesir dan Mesir adalah Al Azhar.

Kemarahan Bung Karno pada Nasser itu terjadi 1959. Setelah itu, terbit undang-undang yang menyatakan Al Azhar adalah rujukan keislaman seluruh dunia, bukan hanya sebatas Mesir saja. Universitas Al-Azhar batal ditutup.

Berkat jasa Bung Karno itulah konon Al Azhar menganugrahkan doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada Bung Karno dalam kunjungan ketiganya ke tanah Firaun itu.

Syiekh Agung Al Azhar Mahmoud Shaltut menyematkan gelar kehormatan akademis itu di gedung pertemuan Universitas Al Azhar pada 24 April 1960, pukul 12.00 waktu setempat, seperti terekam dalam buku “Jauh di Mata Dekat di Hati: Potret Hubungan Indonesia-Mesir” (KBRI Kairo, 2009).

Syekh al-Azhar ketika itu menyebut Soekarno ”Pemimpin Besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam”. Soekarno juga dijuluki ”Ra’is” (pemimpin) oleh orang-orang Arab. Ia juga dielukan sebagai ”al-Hakim” di pasar-pasar Kairo.

Sampai sekarang, hanya 2 orang Indonesia yang disebut ensiklopedi Arab al-Munjid, karya Louis Ma’luf asal Lebanon. Pertama, Syekh Nawawi al-Bantani.  Satunya lagi ya Soekarno, yang di Arab disebut Ahmed Sukarno.

Pemikir Islam
Soekarno adalah pemimpin negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, dan percaya diri berdiri sama tinggi dengan negara-negara Barat yang pernah dan masih menjajah negara-negara Islam pada 1940-an hingga 1950-an. Di dalam negeri, ia berpolemik keras dengan H. Agus Salim, A. Hassan, Natsir, hingga Hamka.

Yang jarang diakui hingga kini, Soekarno juga seorang pemikir Islam, mungkin bukan yang paling cemerlang, tapi jelas salah satu yang paling berpengaruh.

Memang pertama-tama, ia adalah seorang pemikir kebangsaan, seorang nasionalis tulen, yang sangat aktif dalam pergerakan kebangsaan. Tapi, sebagai pemikir, ia harus bersaing dengan beberapa bapak bangsa lain, seperti Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, H. Agus Salim, dan Ki Hadjar Dewantara.

Pemikiran awal Bung Karno tentang Islam yang masyhur dan berpengaruh  adalah penyatuan Nasionalisme-Islamisme-Marxisme. Gagasan ini diterbitkan di Suluh Indonesia Muda pada 1926.

Soekarno baru secara khusus mendalami Islam ketika belajar di Bandung dan berguru langsung di bawah bimbingan A. Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis). Ia tetap belajar Islam melalui surat-suratan dengan Hassan saat ia ditahan di Pulau Endeh pada 1933. Di sana, ia minta dikirimi banyak buku-buku Islam seperti Pengajaran Shalat, Utusan Wahabi, Al-Muchtar, Shahih Bukhari.

“Khabar Endeh: Sehat wal’afiat, Alhamdulillah. Saya masih terus study Islam, tetapi sayang kekurangan perpustakaan, semua buku-buku yang ada pada saya sudah habis “termakan”. Maklum, pekerjaan saya sehari-hari, sesudah cabut-cabut rumput di kebun, dan di sampingnya “mengobrol” dengan anak-bini buat menggembirakan mereka, ialah membaca sahaja. Berganti-ganti membaca buku-buku ilmu pengetahuan sosial dengan buku-buku yang mengenai Islam. Yang belakangan ini, dari tangannya orang Islam sendiri di Indonesia atau di luar Indonesia, dan dari tangannya kaum ilmu-pengetahuan yang bukan Islam.”

Itulah surat Soekarno kepada Hassan bertarih Endeh, 17 Juli 1935. Surat-surat Endeh–Flores ini berisi banyak hal tentang pergulatan jiwa Soekarno dalam mendalami Islam, berdiskusi tentang Islam dan penerapannya di zaman itu. Surat menyurat ini berlangsung antara Desember 1934 hingga Oktober 1936. [Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Surat-surat Islam dari Endeh; 1965)

Dalam surat lain bertanggal Endeh, 17 Oktober 1936, Bung Karno menceritakan tulisan di surat kabar “Pemandangan” yang menyatakan sekarang  Soekarno gemar Islam.

Banyak orang yang disebutnya heran membaca khabar itu, kata Bung Karno, mengutip seorang teman dari Jawa yang menulis sepucuk surat-selamatnya.

Menurut Bung Karno, sebenarnya buat yang tahu dia sejak usia 18 tahun hal itu sebenarnya tidak mengherankan.

“Bukankah satu “alamat” bahwasanya saya dulu anggauta Sarekat Islam, dan kemudian juga anggauta Partai Sarekat Islam dan kemudian pula meninggalkan Partai Sarikat Islam itu hanya karena tak mufakat 100% dengan partai itu, dan bukan karena benci kepada Islam?” tulisnya dalam surat ke Bandung itu.

Bung Karno bercerita sejak dalam penjara Sukamiskin di Bandung yang pertama kali dikerjakannya adalah belajar Islam. Saat itu pers kolonial yang disebutnya pers putih sampai menjadi curiga dan koran “Java Bode” membikin gambar-sindiran lucu.

“Dan sekarangpun, tuan Hassan, sekarangpun, yang saya, – berkat pertolongan Allah dan pertolongan tuan dan pertolongan orang-orang lain, sudah lebih bulat dan lebih yakin ke-Islam-an saya itu, sekarangpun hati saya malahan menjadi lebih luka dan gegetun kalau saya melihat keadaan-keadaan di kalangan umat Islam yang seakan-akan menentang Allah dan menentang Rasul itu.”

Islam tak berhenti hanya menjadi keimanan personal bagi Bung Karno.

“Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat – kafir; radio dan kedokteran – kafir; pantalon dan dasi dan topi – kafir; sendok dan garpu dan kursi – kafir; tulisan Latin – kafir; ya bergaulan dengan bangsa yang bukan Islam pun – kafir! Padahal apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang berkobar‑kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi … dupa dan korma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar, – dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini?”

Itulah surat ke-11 Bung Karno ke Hassan, bertarih Endeh, 18 Augustus 1936.

Menurut Bung Karno, Islam is progress, Islam adalah kemajuan. Kemajuan itu karena fardlu, kemajuan karena sunah, tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan di lapangkan oleh aturan, jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui­ batas-batasnya zaman. Islam menurutnya adalah barang baru, barang baru yang lebih sempurna, yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang yang terdahulu, karena selalu berproses. Progresif.

“Progress berarti pembikinan baru, creation baru, – bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama. Di dalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy barang yang lama, tidak boleh mau mengulangi zamannya “chalifah-chalifah” yang besar. Kenapa tokh orang-orang politik Islam di sini selamanya menganjurkan political system “seperti di zamannya chalifah-chalifah yang besar” itu?”

Memang terdengar seperti suara untuk zaman kini juga, dan pertanyaan Bung Karno kemudian, memang tidak ada hal-hal baik dari perkembangan pemikiran Islam dalam 1.000 tahun terakhir?

“Tidakkah di dalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu peri-kemanusiaan mendapatkan system-system baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjelmakan system-system baru yang cocok dengan keperluannya, – cocok dengan keperluan zaman itu sendiri?”

Sebelum bertemu Hassan, guru agama Islam pertama Bung Karno adalah tokoh Sarekat Islam (SI) H.O.S. Tjokroaminoto, induk semang kosnya. Di rumah Tjokro, ia kos bareng Kartosuwiryo, yang nantinya akan menentang kekuasaanya sebagai presiden RI melalui pemberontakan Darul Islam.

Soekarno juga dipengaruhi pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan (sampai akhir hayat Soekarno mengaku seorang Muhammadiyah), karena kantor cabang persarekatan yang berpusat di Yogyakarta itu tak jauh dari rumah kos-nya.

Pemikir Islam yang dikagumi Soekarno adalah Syed Ameer Ali, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ameer Ali,  yang terkenal pada awal abad ke-20 dengan buku The Spirit of Islam, sering dikutip Soekarno dalam ungkapannya ”mencari api Islam”. Di sana Soekarno menjelaskan posisinya yang mengkritik keras formalisme dan tradisionalisme Islam dan mencari spirit Islam. Soekarno percaya kelenturan Islam menyesuaikan diri.

Dua tokoh Islam yang belakang , para penganjur Pan-Islamisme (persatuan dunia Islam), itu menjadi inspirasi Soekarno bagi pembauran nasionalisme dan Islamisme.

Islam Sontoloyo

Islam progresif Soekarno nampaknya bisa diamalkan hari-hari ini, ketika Islam seolah  bergerak lagi ke arah kejumudan. Banyak kalangan Islam yang memahami keberagamaannya hanya dari aspek simbolis dan berhenti hanya di situ saja. Substansi Islam sebagai ajaran luhur tak pernah terefleksi dalam kehidupan.

Terhadap  kaum Islam yang semacam ini, Soekarno menjuluki mereka Islam Sontoloyo. Dalam sebuah artikel di Pandji Islam (1940) Bung Karno menulis:

“Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.”

Soekarno selalu percaya Islam memberi peluang difahami tidak hanya satu sudut pandang saja. Keragaman fikiran dalam Islam adalah keniscayaan; dan toleransi adalah hal yang mengikuti. [Didit Sidarta]