Ketua BPK Harry Azhar Azis/YUK

Koran Sulindo – Sistem akuntansi yang ada di Indonesia baru mampu menilai proses dan output jumlah masyarakat miskin dan pendataan masyarakat lainnya. Sistem tersebut belum mampu memberikan outcome berupa kebijakan dari pemerintah untuk, misalnya, melarang bupati tersebut untuk mencalonkan diri lagi.

Demikian dikatakan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Dr. H. Harry Azhar Azis, M.A., dalam Keynote Speech 3rd International Conference on Accounting and Ficance (ICAF), di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa (21/2).

“Contohnya adalah saat seorang bupati baru dilantik, terhitung ada 1.000 masyarakat miskin di daerahnya. Tetapi saat diangkat jabatannya, total masyarakat miskin menjadi 1.500. Di mata saya bupati itu sudah gagal. Tetapi bupati itu masih ikut untuk mencalonkan diri lagi pada pemilihan bupati berikutnya dan ada kemungkinan terpilih lagi,” ujarnya.

Dalam pidatonya, Harry menyebut pasal 23 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurut Harry, pasal tersebut sangat jelas ditujukan untuk menciptakan rakyat yang sejahtera, dengan dihitung dari pendapatan perkapita Indonesia setiap tahunnya. Saat ini pendapatan perkapita di Indonesia sekitar US$ 4.700 pertahun. Sementara bila dibandingkan dengan negara tetangga kalah jauh. Pendapatan perkapita Malaysia sekarang ini sudah berada di angka US$ 15.000, dan Singapura US$ 50.000. Padahal, lanjutnya, pada tahun 60-an, pendapatan perkapita Indonesia dibanding kedua negara tetangga tersebut tidak jauh berbeda.

Harry kemudian menyoroti dari segi ketersediaan lapangan kerja. Saat ini ada kurang lebih 2.000 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia. Itu berarti 2.000 lapangan pekerjaan di Indonesia tidak disediakan atau kurang menarik, sehingga mereka lari ke Malaysia. Sedangkan jumlah ketimpangan di Indonesia juga merata.”Nah, jika mengacu pada teori kesejahteraan, seharusnya tidak boleh ada kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan,” tutur Harry.

Karenanya Harry berharap sistem akuntansi sudah harus mampu menunjukkan jumlah kemiskinan dan pengangguran di Indonesia, sehingga masyarakat dapat mengukur tingkat kesejahteraan di Indonesia. Dengan terdatanya masyarakat miskin dan pengangguran maka akan menegaskan apakah Indonesia sejahtera atau tidak. Dari data inilah maka diharapkan pemerintah juga mampu membuat kebijakan berupa outcome atau output yang diberikan oleh sistem akuntansi itu.

“Ini yang harus jadi perhatian para akuntan saat ini dan di masa datang,” ujarnya. [YUK]