Ilustrasi Hakim perempuan (IStock)

Di setiap lini kehidupan, perempuan terus menunjukkan peran dan kontribusinya yang signifikan, termasuk dalam bidang hukum dan peradilan. Sejarah telah mencatat bagaimana perempuan menghadapi berbagai tantangan untuk mendapatkan tempat yang setara dalam sistem hukum, khususnya dalam profesi hakim.

Namun, berkat keteguhan dan perjuangan yang tak kenal lelah, kini semakin banyak perempuan yang menempati posisi penting dalam peradilan, memberikan perspektif yang lebih luas dan memastikan keadilan bagi semua pihak.

Sebagai bentuk pengakuan terhadap peran tersebut, dunia memperingati Hari Internasional Hakim Perempuan setiap tanggal 10 Maret. Peringatan ini bukan sekadar seremoni, tetapi juga momentum refleksi untuk melihat bagaimana perempuan terus memperjuangkan kesetaraan dalam sistem peradilan serta dampaknya dalam menciptakan keadilan yang lebih inklusif dan representatif.

Lalu, bagaimana sejarah peringatan ini bermula? Seberapa besar kontribusi hakim perempuan dalam membangun sistem peradilan yang lebih adil? Simak ulasannya dalam artikel berikut.

Sejarah Hari Internasional Hakim Perempuan

Menurut laman National Today, meski keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik semakin meningkat, mereka masih kurang terwakili dalam posisi pengambilan keputusan, termasuk di ranah peradilan. Secara historis, perempuan mengalami hambatan dalam mengakses posisi hakim, terutama di tingkat kepemimpinan tinggi. Namun, kondisi ini terus mengalami perubahan.

Gagasan untuk memperingati Hari Internasional Hakim Perempuan pertama kali muncul pada Pertemuan Tingkat Tinggi Kedua Jaringan Integritas Peradilan Global UNODC di Doha. Pada pertemuan tersebut, Presiden Vanessa Ruiz dan Ketua Mahkamah Agung Qatar mengusulkan hari khusus untuk menghormati pencapaian para hakim perempuan. Selanjutnya, Yang Mulia Alya Ahmed S. Al-Thani, perwakilan tetap Qatar untuk PBB, memainkan peran penting dalam menyusun dan mengawasi negosiasi di PBB hingga akhirnya peringatan ini disahkan.

Keberadaan hakim perempuan dalam lembaga peradilan memiliki dampak yang signifikan. Dengan jumlah hakim pria dan wanita yang seimbang, kemampuan peradilan dalam menghasilkan keputusan yang adil dan tidak memihak meningkat. Hakim perempuan membawa sudut pandang yang lebih beragam, memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi peradilan, serta menunjukkan bahwa sistem hukum dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi.

Selain itu, partisipasi perempuan dalam kepemimpinan peradilan membantu menghancurkan jaringan kolusi dan memperkuat transparansi serta akuntabilitas. Dengan demikian, keterlibatan perempuan dalam sistem peradilan bukan hanya tentang representasi, tetapi juga tentang peningkatan kualitas keadilan dan supremasi hukum.

Perjalanan Hakim Perempuan di Mahkamah Agung Indonesia

Di Indonesia, perjalanan hakim perempuan di Mahkamah Agung mengalami perkembangan yang cukup panjang. Berdasarkan buku Sejarah Berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia (Jakarta: 1986), pada awal pendiriannya tahun 1946, Mahkamah Agung (MA) hanya diisi oleh hakim laki-laki, seperti Dr. Kusumah Atmadja, R. Satochid Kartanegara, dan lainnya.

Baru pada Agustus 1968, Indonesia memiliki hakim agung perempuan pertama, yaitu Sri Widoyati Wiratmo Soekito yang diangkat oleh Presiden Soeharto. Kemudian, pada 1981, delapan perempuan diangkat menjadi hakim agung, di antaranya Martina Notowidagdo dan Poerbowati Djokokosoedomo. Sejak saat itu, jumlah hakim agung perempuan terus bertambah.

Pada masa reformasi, melalui Keputusan Presiden Nomor 241/M/Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengangkat beberapa hakim agung perempuan, termasuk Chairani A. Wani dan Edith Dumasi Tobing Nababan. Kemudian, pada 2003 hingga 2010, sejumlah perempuan lainnya dilantik sebagai hakim agung, seperti Mieke Komar Kantaatmadja (2003), Susanti Adi Nugroho (2004), Komariah E. Sapardjaja (2007), dan Sri Murwahyuni (2010).

Dalam satu dekade terakhir, semakin banyak perempuan yang menduduki jabatan hakim agung, seperti Nurul Elmiyah (2011), Desnayeti (2013), Maria Anna Samiyati (2015), Rahmi Mulyati (2020), Tama Ulinta Tarigan (2021), Nani Indrawati (2022), Lulik Tri Cahyaningrum (2023), hingga yang terbaru, Ainal Mardhiah pada 2024. Hakim-hakim perempuan ini bertugas di berbagai kamar MA, termasuk perdata, pidana, militer, dan tata usaha negara.

Hari Internasional Hakim Perempuan bukan hanya momentum untuk menghormati pencapaian para hakim perempuan, tetapi juga untuk menegaskan kembali komitmen terhadap kesetaraan gender dalam sistem peradilan. Dengan semakin banyak perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan di lembaga peradilan, transparansi dan akuntabilitas sistem hukum dapat terus ditingkatkan. Mari kita terus mendukung keterlibatan perempuan dalam dunia peradilan demi mewujudkan keadilan yang lebih inklusif dan representatif bagi semua. [UN]