Suluh Indonesia – Sejak 1405 hingga 1433, Cheng Ho dengan misi untuk menjalin persahabatan telah mengunjungi berbagai negara, termasuk Indonesia. Ia pun sudah tujuh kali berlayar ke Samudra Hindia melalui jalur sutra (silk road) untuk menjelajah ke negara-negara sahabat termasuk ke Nusantara.

Pertama ke Nusantara, Cheng Ho berlabuh di Semarang kemudian berkunjung ke Pulau Kalimantan, Jawa, hingga Sumatera. Nah, yang terakhir Cheng Ho berkunjung ke Samudra Pasai, Aceh.

Kedatangan Cheng Ho ke Nusantara tentunya tak hanya menjalin persahabatan, ia membawa misi dagang melalui porselen, teh, dan sutra. Tidak hanya itu, sebagai seorang muslim, Cheng Ho juga membuka pintu komunikasi antara umat Islam Tiongkok dan Indonesia melalui Aceh ini.

Hingga kini, semangat yang dibawa Cheng Ho terus membara dalam hubungan Indonesia-Tiongkok. Karena, perdagangan maritim menjadi cabang lain yang sangat penting dari jaringan perdagangan global, yang sejak dulu dibangun.

Rute perdagangan maritim ini dulu dikenal sebagai Spice Roads, yang memasok pasar di seluruh dunia dengan kayu manis, lada, jahe, cengkeh, dan pala dari pulau-pulau di Indonesia.

Serta berbagai barang lainnya, seperti tekstil, kayu, batu mulia, logam, dupa, kayu, dan kunyit. Semuanya diperdagangkan oleh pedagang yang menempuh rute sepanjang 15.000 kilometer ini. Dari pantai barat Jepang, melewati pantai China melalui Asia Tenggara, dan India untuk mencapai Timur Tengah dan seterusnya ke Mediterania.

Sejak abad pertama Masehi, selain jalur perdagangan darat, terdapat jalur perdagangan melalui laut. Rute yang sering dilalui oleh pedagang yang menghubungkan Tiongkok dengan India adalah melalui daerah Indonesia, yakni Selat Malaka.

Jalur yang melalui laut dari Tiongkok dan Indonesia adalah Selat Malaka menuju India. Dari situ ada yang langsung ke Teluk Persia melalui Suriah ke Laut Tengah. Dari Laut Tengah ada yang menuju Laut Merah melalui Mesir dan sampai ke Laut Tengah. Indonesia melalui Selat Malaka terlibat perdagangan dalam hal rempah-rempah.

Posisi strategis itu memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Pada masa itu, rempah-rempah menjadi produk penting terutama di bagian Eropa untuk kepentingan masakan dan mengawetkan daging di musim dingin.

Indonesia sendiri menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting pada Jalur Sutra. Aktivitas perdagangan di Jalur Sutra makin meningkat pada abad ke-2 Sebelum Masehi. Jalur ini terus dimanfaatkan perdagangan utama dunia hingga abad ke-16.

Terakhir, kedua negara ini bahkan tengah membangun Jalur Sutra Maritim Abad ke-21, yang merupakan pembaruan jalur sutra. Jalur yang juga dikenal dengan The Silk Road Economic Belt and the 21st-century Maritime Silk Road ini, pertama kali diumumkan Presiden Xi Jinping pada 2013.

Tentu, dengan harapan menciptakan jalur ekonomi yang membentang lebih dari 60 negara di seluruh dunia. Indonesia sendiri menjadi pilihan pertama Tiongkok untuk menghidupkan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 itu.

Terlebih, jalur tersebut sejalan dengan kebijakan Presiden Indonesia Joko Widodo untuk kembali ke laut. Terlebih lagi, Indonesia memiliki nilai tawar yakni hasil rempah-rempahnya.

Karena, di dunia, berdasarkan data Negeri Rempah Foundation, tercatat ada 400-500 spesies rempah. Dari jumlah itu, 275 di antaranya berada di Asia Tenggara yang didominasi Indonesia. Sehingga Indonesia memiliki julukan Mother of Spices.

Berdasarkan catatan FAO (2016) Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil rempah-rempah terbaik di dunia. Indonesia menempati peringkat keempat sebagai penghasil rempah di dunia, dengan total produksi 113.649 ton serta total nilai ekspornya mencapai 652,3 juta Dollar Amerika.

Rempah yang paling dominan di Indonesia adalah lada, cengkeh, kayu manis, pala, vanili, jahe, dan kunyit. Rempah-rempah ini sejak dulu telah menjadi sektor yang diperdagangkan Indonesia melalui Selat Malaka, Aceh.

Rempah fungsinya secara harfiah paling tidak ada tiga. Untuk kuliner, obat-obatan, aromatik bahkan sebagai pembangkit gairah birahi. Ada dua puluh titik rempah yang akan direkontruksi, dari Banda Aceh sampai dengan Raja Empat. Untuk Aceh tercatat dua lokasi yang akan direkontruksi, yaitu Banda Aceh dan Pasee, satu-satunya provinsi dengan dua titik sepertinya.

Rempah secara geopolitik telah mengubah dunia, penjajahan, peperangan, dan pertumbuhan perdagangan karena daya tariknya. Rempah bagaikan minyak di zaman ini, bagaikan kebutuhan di masa datang.

Sistem perkebunan di Aceh memang dari dulu sangat dipengaruhi perkembangan pasar dunia, abad XVI-XIV semua wilayah Aceh ditanami lada, tanaman yang berasal dari India, kemudian ketika Belanda menjajah Aceh, mereka menggantikannya secara masif dengan karet dan tanaman lainnya. Kemudian, marak zaman sawit. Sebenarnya, juga sudah dilakukan oleh perusahaan Belanda dan Belgia, agar sawit menjadi tanaman musiman berikutnya, dan sampai masa Orde Baru.

Seiring deforestirasi, sawit dikembangkan secara kerakyatan dan perusahaan, secara masif dan mengancam ekosistem Indonesia. Hal ini, terutama bagi Aceh, akibat Indonesia hanya menjadi penghasil bahan mentah, dan belum sampai ke pengolah, sehingga posisi Indonesia selalu ditentukan, bukan menentukan.

Tapi hal ini berbeda pada masa kerajaan Aceh dahulu, dari Ali Riayatsyah sampai Iskandar Muda serta sultan-sultan berikutnya, posisi rempah mereka sangat jelas dengan menggunakan kekuatan militer dan diplomasi, agar rempah Aceh harus mendunia dan dilindungi dengan harga yang tinggi.

Sultan Ala’addin Riayat Shah al-Kahar (1537-1571) adalah Sultan pertama yang agresif, kemudian dilanjutkan penerusnya terutama Iskandar Muda. Saat itu kegiatan perdagangan dan pengapalan berlangsung dengan penuh semangat, ada banyak pedagang dari Eropa, India, Mongol, Bengal, Siam, Cina, Jawa, Melayu, Armenia, Malabar, dan Mooren dari pantai Coromandel.

Mereka berdagang berbagai produk, dari hasil hutan hingga batu permata dan emas yang telah disempurnakan agar memiliki nilai tinggi. Sudah dari abad XVII Aceh mengembangkan budidaya ulat sutra dan lada.

Sutra Aceh sangat digemari di Sumatra, namun sutra Aceh tidak sebaik Tiongkok yang putih. Sutra Aceh kuning dan kasar. Masa Snouck masuk Aceh, industri sutra Aceh hanya untuk kebutuhan penduduk.

Sementara lada Aceh sangat terkenal, ekspornya ke Tiongkok dan barat (Eropa), Namun ada juga yang membandingkan lada Aceh dengan yang lain. Sebagaimana yang dikatakan Tome Pires ada Aceh ada lada tetapi sedikit. Ini menandakan bahwa perkebunan lada Aceh sangat meluas, sehingga mengancam, dan terjadi pengabaian terhadap prduksi beras yang merupakan makanan pokok rakyat.

Perluasan penanaman lada ini pastilah karena ada uang dan pasar di bisnis ini. Lada Aceh ini sampai diekspor ketika itu oleh Sultan Iskandar Muda. Pengangkutan ekspor lada dari Acah sampai menempuh Laut Mirah, sudah berjalan sejak tahun 1530-an dan 1580-an.

Pada 1615 Downton saja datang memenuhi kapalnya dengan muatan lada. Pada 1637 Peter Mundylah yang pulang balik singgah di Aceh untuk mengambil muatan lada pula. Kontrak penjualan lada yang pertama diadakan dalam suasana curiga-mencurigai dan berangkat dari Aceh 22 Januari 1601. [WIS]

Baca juga: