Koran Sulindo – Narasi horor pandemi virus corona kini menghantui kehidupan masyarakat global. Berawal dari pemberitaan besar-besaran media Barat yang ingin menyudutkan Tiongkok sebagai tempat awal virus itu menyebar. Karena itu, media Barat acap menamainya sebagai virus Wuhan.
Akan tetapi, bukan itu soalnya. Entah bagaimana awalnya virus corona ini begitu “mengerikan” dibandingkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di depan mata. Kisah tentang perang, pengungsi, dan perubahan iklim yang menghancurkan bumi menjadi tidak ada apa-apanya dibanding wabah virus corona.
Padahal, semua kisah itu sedang terjadi. Korbannya pun jutaan umat manusia. Tetapi dibanding virus corona, kisah-kisah kemanusiaan itu seolah-olah menjadi abstrak. Kini semua orang berbicara tentang pandemi virus corona. Tentang potensi jutaan orang akan mati karena virus corona.
Lalu, tiba-tiba semua orang merasa perlu membersihkan tangan setiap kali tiba di suatu tempat. Tidak boleh saling bersentuhan dan tinggallah di rumah untuk sementara. Pandemi virus corona ini tidak boleh dianggap enteng, tentu saja. Sebab, dunia sekitar 100 tahun lalu punya pengalaman tentang flu Spanyol yang menginfeksi sepertiga populasi dunia dan menewaskan 50 juta orang atau sekitar 10 persen dari jumlah penderita.
Kendati demikian, tak perlu membuat virus corona ini seperti horor yang membuat publik panik. Menghantui kehidupan manusia setiap hari. Persis seperti yang dilakukan media Barat dengan menyudutkan Wuhan, Tiongkok sebagai asal muasal virus. Dari pemberitaan tersebut, tentu saja menimbulkan pertanyaan bahwa pandemi virus corona ini tidak lagi sekadar isu kesehatan.
Cerita seperti ini mengingatkan kita pada kasus virus flu burung atau ( H5N1) yang sempat merebak di dunia sekitar 2003. Laporan BBC Indonesia 2012 mengutip data WHO menyebutkan, Indonesia merupakan negara dengan jumlah korban H5N1 tertinggi di dunia.
Disebut ada 349 kematian akibat flu burung sejak 2003. Dari jumlah itu 155 di antaranya terjadi di Indonesia. Pada tahun yang sama ada 186 kasus flu burung terhadap manusia di Indonesia dan sekitar 80 persen berakhir dengan kematian.
Dalam perkembangannya kemudian, menurut Menteri Kesehatan periode 2004-2009 Siti Fadilah Supari, isu flu burung tidak semata-mata masalah kesehatan. Tetapi, menyangkut berbagai hal di luar lingkup kesehatan, kata Siti Fadilah dalam Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung yang diterbitkan kali pertama pada 2008.
Isu ini, kata Siti Fadilah, merambah mengikuti meluasnya wilayah penyebaran kasus dan cakupan masalah yang semakin kompleks. Bangsa Indonesia persis seperti sekarang kembali belajar untuk bersatu, disiplin dan bertindak cepat. Mencari solusi. Dari sisi kesehatan, kata Siti Fadilah, serangan sporadis flu burung mengajarkan kita secara cepat dan tepat memeriksa korban.
Memberikan tindakan medis yang tepat agar korban dapat sembuh dan terhindar dari kematian. Dunia kedokteran dan virologi dipacu untuk bangkit lebih inovatif. Mencari temuan-temuan baru berupa peralatan vaksin dan obat-obatan untuk menghadapi ancaman. Beberapa kerja sama telah dibangun dalam upaya membuat rapid detection kit (alat pemeriksa cepat), obat Oseltamivir dan vaksin flu burung strain Indonesia.
Kedaulatan
Selanjutnya, kata Siti Fadilah, kasus flu burung lebih jauh menuntut ketegasan komitmen kita untuk selalu menjaga kedaulatan bangsa dan negara RI. Dan di luar perkiraan banyak orang termasuk Indonesia, WHO memberikan sampel virus flu burung kepada beberapa perusahaan di negara maju.
Mereka kemudian mengembangkannya menjadi vaksin. Lalu, itu dijual secara komersial dengan harga mahal kepada negara miskin dan berkembang. Berbagai konspirasi negara-negara maju terhadap negara-negara miskin dan berkembang satu per satu terbongkar. Selama 50 tahun sistem pengorganisasian kesehatan dunia berlangsung eksploitatif.
“Dikuasai oleh kehendak-kehendak yang tidak manusiawi. Didasari ketamakan penumpukan kapital dan nafsu untuk menguasai dunia,” tutur Siti Fadilah.
Karena situasi itu, Siti Fadilah yang mewakili Indonesia dalam sidang internasional WHO dan WHA (World Health Assembly) menyampaikan terobosan Indonesia dan membuka kesadaran negara miskin serta negara berkembang untuk menuntut perombakan sistem kesehatan dunia di bawah WHO agar menjadi adil, transparan dan setara.
“Ini semua demi peradaban manusia! Untuk dunia yang lebih sehat dan lebih adil. Semua negara sudah bersepakat. Tidak boleh ada lagi eksploitasi manusia atas manusia (exploitation de /’home par /’home) dalam dunia kesehatan,” tulis Siti Fadilah lagi.
Seperti Siti Fadilah, President and Director of the Centre for Research on Globalization Michel Chossudovsky dalam sebuah wawancara juga menyampaikan pendapat yang nyaris serupa. Soal pengumuman penyakit pandemi bukan baru kali ini saja WHO mendeklarasikanya dan membuat kepanikan global, kata Chossudovsky. Ambil, misalnya, pada April 2009 tentang virus flu babi (H1N1).
Ketika itu, WHO menyebut wabah flu babi berpotensi menulari sekitar 2 miliar orang di dunia dalam dua tahun. Jumlah ini hampir sepertiga dari populasi dunia. Chossudovsky menduga munculnya pengumuman WHO lantaran dukungan dari industri-industri perusahaan farmasi global yang acap dijuluki sebagai Big Pharma.
Lewat pengumuman itu, maka WHO menganjurkan negara-negara di berbagai benua untuk menerapkan wajib vaksin flu babi. Dalam sebuah kesempatan Sekjen WHO pada waktu itu, kata Chossudovsky, mengatakan, skenario terbaik dari vaksinisasi tersebut perusahaan farmasi akan menghasilkan 4,9 miliar suntikan anti-flu babi. “Dengan kata lain ini merupakan lampu hijau bagi perusahaan farmasi untuk memproduksi vaksin dalam jumlah besar,” kata Chossudovsky.
Berkaca dari pengalaman lalu itu, bahwa kasus flu burung dan flu babi merupakan cerminan berbagai persoalan dunia, kata Siti Fadilah. Itu tentu saja membawa kesengsaraan umat manusia sekaligus menunjukkan jalan keluarnya. Karena itu, sudah saatnya dunia berubah! [Kristian Ginting]