Ilustrasi: Penumpang di Bandara Beijing,China, 30 Januari 2020/Getty Images-Kevin Frayer

Koran Sulindo – Pemerintah harus terus memperkuat kemampuan dalam mencegah dan mengendalikan penyakit, terutama penyakit menular.

“Sama seperti tentara, meskipun tidak pernah berperang tapi persenjataannya harus diperbarui terus dengan yang lebih baik,” kata Direktur Field Epidemiology Training Program (FETP) Indonesia, I Nyoman Kandun, dalam Outbreak Talkshow Series, di Yogyakarta, Jumat (28/2/2020).

Kecepatan dan ketepatan ada;ah krusial dalam upaya pengendalian penyakit karena ketika penyakit sudah menyebar akan mendatangkan dampak yang besar dan mahal.

“Di samping memperlengkapi fasilitas kesehatan dengan teknologi baru, perlu juga dilakukan pemantauan serta evaluasi terhadap sistem yang sudah dibangun,” kata Kandun.

Sementara itu Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM, Riris Andono Ahmad, mengatakan salah satu tantangan dalam upaya pengendalian penyakit menular adalah peredaran informasi melalui media massa ataupun media sosial yang justru menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Kepanikan ini akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan institusi kesehatan.

“Yang lebih cepat menyebar daripada epidemi penyakit adalah epidemi kepanikan yang sekarang difasilitasi oleh media sosial, di saat orang jadi kehilangan kepercayaan pada para ahli dan lebih senang untuk mengikuti apa yang ada di media sosial,” katanya.

Kasus kepanikan yang terjadi di Afrika akibat penyakit ebola membuat masyarakat tidak percaya terhadap pemerintah. Mereka kemudian menyerbu fasilitas isolasi atau karantina dan membawa kerabat mereka yang menjadi pasien. Padahal, tindakan ini justru semakin memperluas penyebaran penyakit.

“Cari sumber yang resmi dan terpercaya, itu akan jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan. Jangan ikut menyebarkan rumor, itu menjadi kunci bagaimana kita bisa ikut membantu,” kata Riris.

Pemerintah juga harus memikirkan strategi komunikasi risiko yang baik dengan mempertimbangkan kapan dan kepada siapa mereka harus memberikan informasi ketika terjadi wabah penyakit tertentu.

Dengan perkembangan teknologi komunikasi yang makin maju, pemerintah tidak bisa menutup-nutupi informasi.

“Sebaliknya, pemerintah perlu berusaha untuk membangun kepercayaan publik agar upaya pengendalian penyakit bisa dijalankan secara maksimal,” kata Citra Indriani, epidemiolog di World Mosquito Program Yogyakarta.

Universitas Gadjah Mada (UGM) mengeluarkan surat edaran tentang Kewaspadaan Dini COVID-19. Melalui Surat Edaran  tentang Virus Corona. Seluruh sivitas akademika UGM diimbau menangguhkan perjalanan ke luar negeri, terutama di negara-negara terdampak COVID-19.

UGM juga menangguhkan sejumlah acara yang telah dijadwalkan untuk dilaksanakan beberapa bulan ke depan yang melibatkan tamu-tamu dari luar negeri baik mahasiswa maupun dosen asing hingga situasi aman dari sisi kesehatan.

Saat ini UGM belum mengeluarkan larangan kunjungan ke UGM pada mahasiswa maupun dosen asing. Namun UGM akan menghubungi mereka untuk  menunda perjalanan ke UGM hingga situasi dinyatakan membaik dan aman.

Covid-19 tidak Mematikan

Sementara itu Ketua Tim Viral Airborne RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, Ika Trisnawati,  mengimbau masyarakat tidak panik menghadapi virus corona karena tidak mematikan. Virus corona pernah menjadi wabah dunia dengan tiga jenis yang dikenal selama ini, yaitu SARS-Cov, MERS-Cov dan COVID-19.

SARS muncul 2002 di China dan Hongkong, MERS muncul 2012 dan pada akhir 2019 menyusul COVID-19. SARS-Cov jumlah kasusnya mencapai 8.098, meninggal dunia 774 orang dan Case Fatality Rate 9,6 persen. MERS-Cov yang terjangkit lebih sedikit yaitu 2.494, namun angka kematian cukup tinggi 858 sehingga Case Fatality Ratenya 34,4 persen. Sedangkan COVID-19 tercatat per 1 Maret 2020 mencapai 87.137 kasus dengan jumlah kematian mencapai 2.981. Angka kematian ini terlihat sangat tinggi, namun bila dibandingkan dengan jumlah kasusnya maka Case Fatality Ratenya hanya 3,4 persen.

“Oleh karena itu tidak usah terlalu panik, kita memiliki data atau bukti ilmiah. Artinya apa virus ini tidak mematikan, namun memang mudah menular,” kata Ika, di UGM Yogyakarta, Rabu (4/2/2020).

Dari data yang ada, yang terpenting soal COVID-19 ini adalah identifikasi kasus apakah dari luar atau dari lokal. Sebagai contoh di Pakistan banyak kasus merujuk pada kasus berasal dari luar artinya kasus-kasus yang muncul akibat virus dari luar masuk kedalam.

Angka kematian di luar China paling banyak di Korea, Jepang, Philipina, Itali, Perancis, Iran dan di kapal Diamond Princess. Angka kematian terbesar di China karena endemis dan virusnya sangat mudah menular.

“Dari data banyaknya pasien-pasien yang meninggal karena sebelumnya telah memiliki penyakit-penyakit yang lain. Jadi, sebelum terkena corona, sebelum terkena Covid, ia sudah sakit, semisal jantung, gagal ginjal, gagal liver dan lain-lain dan usianya sudah lanjut,” katanya.

Sementara itu pasien-pasien yang berusia muda angka kematiannya sangat kecil. Mereka yang dalam kategori usia produktif ini umumnya memiliki daya tahan yang masih bagus.

“Virus ini sangat bergantung pada ketahanan tubuh. Jadi, yang meninggal karena ia punya penyakit kronis yang lain dan telah berusia lanjut,” katanya.

Menurut Ika, hoaks tentang virus ini lebih berbahaya daripada virusnya.

“Kalau virus covidnya bisa ditangani dengan cara dikarantina, pasien bisa dikendalikan penularannya, tapi kalau virus hoaks susah dikendalikan. Beberapa waktu kemarin kita sudah mengadakan pertemuan dengan Kementerian Kesehatan dari bidang informasi dan komunikasi guna mambahas isu-isu hoaks agar bisa ditangani secara serius,” kata Ika.

Virus ini sebenarnya labil, tidak tahan panas, tidak tahan bahan kimia dan sebagainya. Virus ini sudah sejak lama ada dan berhasil dikultur atau diisolasi pada tahun 1960-an. [RED]