Koran Sulindo – Sikap kubu Capres dan Cawapres Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menolak hasil Pemilihan Presiden 2019 mestinya juga dilakukan terhadap perolehan suara partai pada pemilihan legislatif termasuk dari Partai Gerindra sendiri.
Ketua Tim Kampanye Daerah Jawa Barat Jokowi-Ma’ruf Amin Dedi Mulyadi menyebut sikap kubu Prabowo yang hanya menolak hasil Pilpres 2019 menunjukan sikap politik ambivalen, mendua sekaligus membingungkan mengingat Pemilu 2019 dilaksanakan secara serentak antara Pilpres dan Pileg.
Dedi menyebut ketika kubu Prabowo menganggap terjadi kecurangan secara terstruktur sistematis dan masif dalam Pemilu 2019, maka pemahaman itu mesti berlaku paralel yakni Pemilihan Presiden, Pemilihan DPD, DPR hingga DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
“Pengakuan atau penolakan terhadap hasil pemilu, berarti penolakan terhadap satu paket kegiatan. Bukan hanya penolakan terhadap hasil pilpres, tetapi juga hasil pemilihan DPD dan anggota legislatif dari pusat sampai daerah. Berarti konsekuensinya menolak hasil Pileg di berbagai daerah,” kata Dedi dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu (15/5).
Menurut Dedi mengatakan, Pemilu 2019 yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari pusat, provinsi hingga tingkat KPPS dan pengawasannya pun dilakukan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten hingga tingkat kelurahan/desa.
Dedi menganalogikan, pemilu itu seperti sambal, dimana seluruh bahan, seperti gula, cabai, garam dan terasi sudah menjadi satu kesatuan. Dengan demikian, rasa terasi dan gula sudah tidak bisa dipilah. Jadi, ketika dikatakan terasinya tidak enak berarti sambal itu memang tidak enak.
“Kalau dianggap pemilu curang, berarti pileg juga curang. Kalau pileg curang, berarti mereka yang mengalami peningkatan suara legislatif hari ini diperoleh dari hasil kecurangan. Kan konsekuensinya seperti itu,” tandas Dedi.
Ia pun ini pun menyindir sikap kubu Prabowo yang bahagia suara partainya mengalami peningkatan. Sejumlah partai pendukung Prabowo-Sandi sudah mengakui terlebih dahulu dan mengumumkan bahwa partainya di kabupaten atau kota tertentu mendapat sekian kursi, dan di tingkat provinsi serta DPR RI meraih sekian kursi.
Bahkan, terdapat sejumlah politikus dari partai pendukung Prabowo-Sandi yang sudah menggelar syukuran lantaran berdasarkan penghitungan suara terpilih sebagai anggota legislatif.
“Saat KPU menghitung hasil pileg, maka semuanya bahagia. Bahkan, banyak yang sudah syukuran. Tetapi giliran pilpres menolak, ya nggak bisa. Harus konsisten, kalau menolak pilpres, ya menolak pileg juga. Tidak bisa sepotong-sepotong,” kata Dedi yang juga Ketua DPD Golkar Jawa Barat itu.
Dedi menambahkan, dalam pemilu itu terdapat aspek logis, yakni calon presiden memiliki dampak elektoral terhadap partai pengusung. Dicontohkan, di suatu daerah ketika Jokowi-Ma’ruf menang, maka suara PDI Perjuangan mengalami kemenangan.
“Itu sebelumnya sudah diprediksi oleh riset yang diumumkan lembaga survei. Ada efek elektoral yang akan ditimbulkan pilpres. Yang paling menikmati kan PDI-P dan PKB. Sementara Golkar hanya bisa bertahan. Dan, kita terima itu sebagai sebuah konsekuensi dalam berpolitik,” katanya.
Demikian juga dengan Prabowo-Sandi. Di daerah yang dimenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 02 tersebut, maka yang menikmati efek elektoralnya, yakni Gerindra, PKS, dan juga PAN. Setidaknya, PAN bisa lolos melampaui ambang batas dalam Pemilu 2019.
“Dari situ sudah jelas bahwa aspek riset itu terbukti dalam fakta-fakta politik. Pak Prabowo memang dalam hitungan sampai hari ini tidak berhasil, tapi partainya mengalami peningkatan yang signfikan. Kan betul, setidaknya pencalonan Prabowo memberikan efek positif bagi Gerindra, dan PKS mampu memanfaatkannya. Misalnya di Jawa Barat, Gerindra menikmati kemenangan dari efek Prabowo,” kata Dedi. [CHA/TGU]