Pasukan AS di Filipina yang disebut membantu pasukan militer pemerintah melawan ISIS

Koran Sulindo – Kebijakan Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang memutuskan untuk memperpanjang darurat militer di Pulau Mindanao merupakan langkah awal untuk memberlakukan darurat militer di seluruh negeri. Kebijakan itu pun menuai kecaman dari aktivis hak asasi manusia Filipina.

Kendati pemerintah mengklaim telah mampu mengakhiri pemberontakan kelompok militan Islam di Marawi, akan tetapi kebijakan darurat militer tetap diberlakukan. Kepala Kepolisian Filipina Oscar Albayalde menolak tuduhan bahwa perpanjangan darurat militer di Mindanao sebagai langkah awal untuk darurat militer di seluruh negeri. Tetapi, Duterte tahun lalu pernah mengatakan, semua opsi ada di tangannya.

“Ini sangat menyedihkan,” tutur pakar komunikasi ternama di Filipina, Luis Teodoro seperti dikutip Soutch China Morning Post pada Sabtu (8/12).

Teodoro menuturkan, apa yang dilakukan pemerintah Filipina hari ini adalah bagian dari konteks otoritarianisme merangkak. Buktinya sepertiga wilayah dari luas Filipina berada di bawah undang undang darurat militer – dan mereka terus memperpanjangnya. Duterte bahkan acap menyampaikan alasan memberlakukan undang undang darurat militer itu dengan retorika “Aku bisa membunuhmu, menangkapmu jika akau mau.”

Keputusan Duterte itu menyusul setelah sekitar seminggu pernyataannya tentang pembentukan regu pembunuh untuk menghadapi gerilyawan Maois. Karena pernah menjabat Wali Kota Davao, publik lantas mengingat pasukan pembunuh Davao yang membantai lebih dari 1.000 orang tanpa proses hukum. Dan Duterte dituduh orang yang paling bertanggung jawab atas pembantaian itu.

Soal rencana pembentukan pasukan pembunuh itu, Menteri Pertahanan Delfin Lorenza mengumumkannya pada Selasa pekan lalu. Itu disebut sebagai unit khusus untuk menghadapi Tentara Rakyat Baru (NPA), sayap militer Partai Komunis Filipina (CPP). Unit khusus inilah yang dinilai sebagai pasukan pembunuh baru seperti yang terjadi di Davao pada waktu Duterte menjabat Wali Kota.

Salah seorang pensiunan kepolisian yang menjadi bagian dari sebuah pasukan khusus, Arthur Lascanas bercerita kepada Senat bahwa ia pemimpin kelompok dan menerima sekitar 100 ribu peso atau setara US$ 1.900 per pembunuhan. Lascanas juga mengakui tentang pembunuhan terhadap wartawan televisi yang kritis terhadap Duterte.

Pernyataannya itu tentu saja mengundang kontroversia lantaran sebelumnya ia acap menyangkalnya. Ia bahkan menyebut hal tersebut karena media yang terlalu berlebihan. Duterte mengumumkan perpanjangan undang undang darurat militer dan berlaku untuk seluruh Pulau Mindanao dengan jumlah populasi seperlima dari sekitar 105 juta orang, total penduduk Filipina.

Duterte seringkali mencap orang-orang yang mengkritiknya sebagai pemberontak walau dalam kenyataannya itu bisa jadi upaya untuk membungkam kebebasan berpendapat. Anggota Kongres Castro, misalnya, dicap sebagai anggota NPA aktif. Kemudian hal serupa juga dituduhkan Duterte kepada mantan menterinya yaitu Judy Taguiwalo yang dituduh Duterte mengalirkan dana bantuan kepada NPA. [KRG]