Koran Sulindo – Di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang saat ini dihadapkan pada persoalan disintegrasi, Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menegaskan dan meneguhkan sebagai universitas yang Pancasilais. Peneguhan kembali ini dimunculkan deklarasi yang berlangsung di halaman Balairung UGM, Senin (22/5).
Sebelum dilakukan deklarasi, dilakukan sebuah sarasehan yang berlangsung di Balai Senat UGM dengan menghadirkan budayawan Emha Ainun Nadjib dan Dr. . Pudjo Semedi, dosen Antropologi UGM.
Deklarasi UGM tetap teguh pada Pancasila dipimpin Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., Prof. Putu Sudira (Ketua Dewan Guru Besar), Prof. Hardyanto Soebono (Ketua Senat Akademik) dan dosen oleh I Made Andi Arsana.
Menurut Dwikorita, perjalanan UGM sejak berdiri 1949, dimulai dari keputusan menjadi universitas yang nasionalis dan patriotis. Nasionalis berarti menghormati dan menerima tanah air, bahasa dan budaya Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Sedangkan patriotis berarti mendukung norma dan nilai konstitusi RI yang demokratis berdasarkan Pancasila.
“Civitas akademika UGM sejak dulu hingga kini setia dan bangga pada keputusan tersebut,” kata Dwikorita.
UGM terus berkomitmen memelihara suasana damai dalam kebinekaan dan kerja sama sosial di kalangan civitas akademika. Selaras dengan ini, UGM mendorong partisipasi civitas akademika yang inklusif dalam berbagai kegiatan, baik di kelas, kampus, maupun masyarakat.
Penyelenggaraan deklarasi dan sarasehan Pancasila ini, menurut Rektor UGM, sangat tepat. Hal ini mengingat kondisi dan situasi bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada persoalan disintegrasi. Dituturkan, tidak perlu lagi memperdebatkan Pancasila. Saat ini langkah yang terbaik dan penting adalah praktik nyata dalam hidup sehari-hari.
“Jika kita berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila tidak perlu khawatir, asal setiap individu yakin dan dipraktikkan secara nyata. Individu- individu yang kolektif tentunya akan menjadi benteng untuk mencegah disintegrasi bangsa,” kata Dwikorita.
Sedangkan Emha Ainun Najib dalam sarasehan mengatakan Pancasila bisa jadi merupakan kumpulan filsafat atau kumpulan deretan kata-kata mutiara. Maka, belajar dari sila pertama saja bisa, sila kedua saja bisa dan sila berapapun bisa. Sementara itu, Pancasila harus terbuka terhadap penafsiran-penafsiran.
“Yang penting bukan adu kebenaran soal penafsiran, namun lebih pada menjadi tafsir apapun. Yang penting janji outputnya harus kekompakan, kebaikan dan keamanan bersama. Terserah mau berpendapat seperti apa, tetap tidak boleh mencuri, tidak boleh menyakiti orang, dan tetap bersatu dengan orang lain,” kata Emha.
Sementara Dr. Pudjo Semedi, dosen Antropologi UGM, berpendapat untuk orang-orang yang terpinggirkan maka sila ke-lima Pancasila menjadi satu-satunya gantungan hidup mereka. Selain itu, di dalam zaman Neoliberalisme sila Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia makin relevan agar mereka rakyat jelata bisa sejahtera.
“Bagaimana caranya maka pajak progresif bagi mereka yang kaya harus diterapkan. Mereka yang makin tinggi pendapatan seseorang harus semakin tinggi pajak yang dikenakan sehingga bisa memangkas ketimpangan dalam masyarakat,” kata Pudjo. [YUK]