Pada pagi hari 14 Juni 1949, pangkalan udara White Sands di New Mexico menjadi saksi bisu peluncuran sebuah eksperimen ambisius yang kelak mengukir sejarah dalam dunia penerbangan luar angkasa.
Hari itu, seekor monyet rhesus bernama Albert II diluncurkan menggunakan roket Blossom V-2 milik Laboratorium Aeromedis Angkatan Udara Amerika Serikat. Albert II menjadi primata pertama yang berhasil mencapai angkasa luar, namun sayang ia tidak pernah kembali dengan selamat ke Bumi.
Dari Senjata Perang ke Alat Eksperimen
Roket Blossom V-2 yang digunakan dalam peluncuran ini bukanlah sekadar wahana ilmiah biasa. Ia merupakan versi modifikasi dari misil V-2 yang dulu diluncurkan oleh Nazi Jerman di bawah komando Adolf Hitler, yang menghujani kota-kota seperti London, Antwerp, dan Liege dengan kehancuran.
Setelah Perang Dunia II usai dan Nazi dikalahkan, teknologi ini diambil alih oleh Amerika Serikat, dibantu sejumlah ilmuwan Jerman, untuk mengubah mesin perang menjadi wahana riset ilmiah.
Tujuannya kini bukan lagi penghancuran, melainkan menjelajahi batas-batas atmosfer Bumi, mencari tahu bagaimana tubuh hidup bereaksi terhadap perjalanan ke luar angkasa.
Albert II, seekor monyet rhesus seberat 2,7 kilogram, disuntikkan anestesi ringan sebelum ditempatkan dalam kapsul kecil yang akan membawanya menembus langit. Ia tidak sadar ketika roket melepaskan diri dari landasan peluncuran.
Dalam waktu singkat, Blossom V-2 melesat ke ketinggian 83 mil (sekitar 134 kilometer) cukup untuk melampaui batas atmosfer dan masuk ke wilayah yang secara teknis disebut sebagai “angkasa luar.”
Tiga menit setelah peluncuran, kapsul yang membawa Albert II melepaskan diri dari roket, sesuai dengan rencana. Parasut dirancang untuk mengembang dan memperlambat penurunan kapsul kembali ke Bumi.
Namun harapan itu pupus. Sistem parasut mengalami kegagalan. Kapsul meluncur jatuh dengan kecepatan tinggi dan menghantam tanah, menciptakan kawah sedalam tiga meter. Albert II tewas seketika.
Meskipun hasil akhirnya tragis, peluncuran ini memberikan data berharga. Sensor elektrokardiografi yang ditempatkan di tubuh Albert II mencatat secara detail respons tubuhnya terhadap gaya gravitasi ekstrem.
David Simons, perwira proyek Angkatan Udara AS untuk studi hewan V-2, menyatakan bahwa jantung Albert menunjukkan tanda-tanda gangguan akibat disorientasi dan tekanan g-force tinggi.
Informasi ini kelak menjadi landasan penting dalam memahami bagaimana makhluk hidup dapat bertahan dalam perjalanan ruang angkasa.
Sebelum Albert II, sebenarnya telah ada Albert I, seekor monyet rhesus lain yang diluncurkan pada 11 Juni 1948, juga dari White Sands. Namun, peluncuran pertamanya tidak terdokumentasi dengan baik dan nyaris tenggelam dalam catatan sejarah.
Albert I meninggal bahkan sebelum mencapai angkasa luar akibat kegagalan teknis, menjadikannya sebagai pahlawan tak dikenal dalam deretan percobaan awal penjelajahan ruang angkasa.
Kematian Albert II mengingatkan dunia bahwa sebelum nama-nama seperti Yuri Gagarin dan Neil Armstrong dikenal luas, ada makhluk hidup lain yang lebih dulu dikirim ke langit sebagai pionir.
Mereka bukan ilmuwan, bukan pilot, tapi hewan-hewan yang namanya kadang terlupakan, namun pengorbanannya menjadi bagian penting dari sejarah umat manusia dalam memahami batas-batas langit.
Hari ini, nama Albert II mungkin tak sepopuler para astronaut manusia yang datang setelahnya, tetapi jejak kecilnya di angkasa menjadi bukti bisu bahwa peradaban selalu dibangun di atas keberanian, bahkan dari makhluk-makhluk yang tak bisa memilih takdirnya. [UN]