Antasari Azhar/Youtube

Koran Sulindo – Setelah mendapat pengampunan dari Presiden Joko Widodo, bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar semakin berani mengenai kasus yang menjadikannya pesakitan. Ia tak lagi ragu menuding dalang di balik kasus yang menjeratnya itu, dan menduga ada kekuasaan besar yang terlibat dalam merekayasa kasusnya.

Mengenai pengampunan yang diterimanya itu, Antasari bersyukur. “Alhamdulilah,” katanya ketika dihubungi melalui pesan singkat beberapa waktu lalu. Karena pengampunan itu pula, Antasari mendapat kesempatan bertemu dengan Jokowi. Mereka pun bertemu empat mata. Seusai bertemu, Antasari malah tidak mau memberikan pernyataan.

Setelah itu, ia menjadi “langganan” dan kerap menghiasi kepala berita media massa cetak maupun elektronik. Antasari kemudian berbicara secara blak-blakan mengenai kasus yang membelitnya. Mungkin bukan sesuatu yang baru, sebab ceritanya berdasarkan fakta-fakta persidangan yang diikutinya beberapa tahun lalu. Semisal, ia menduga keterlibatan pemerintah di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam merekayasa kasusnya.

Dalam wawancaranya dengan salah satu stasiun televisi swasta akhir Januari lalu, misalnya, Antasari menduga Presiden SBY punya dendam kepadanya karena sejumlah kasus. Analisisnya itu berdasarkan perenungan di tahanan dan ia merasa diserang balik setelah menangani berbagai kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara.

Lantas mengapa Antasari sekarang menyasar SBY?

Antasari bercerita, sejak menjadi pesakitan dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, direktur anak perusahaan badan usaha milik negara, SBY tidak pernah sekalipun menyampaikan empatinya, baik secara tersurat maupun tersirat. Padahal, ketika itu Antasari sesuai dengan undang undang merupakan pejabat negara. Bahkan, ketika sudah mendekam dalam penjara, SBY sekalipun tidak pernah menjenguknya.

Padahal, selama menjabat ketua KPK, Antasari kerap bertemu SBY untuk membahas soal pemberantasan korupsi. Pertemuan mereka tentu saja di luar jangkauan media massa sehingga jarang terpublikasi. Itu sebabnya, ia heran mengapa SBY tidak peduli ketika kasus yang menjeratnya itu sedang panas-panasnya. Antasari bukannya ingin kasusnya diintervensi. Tapi, paling tidak sebagai kepala negara, SBY memberi empati kepadanya karena kedudukannya waktu.

Antasari juga mereka-reka apakah SBY mendendam kepadanya karena kasus yang melibatkan Aulia Pohan. Besan SBY itu mendekam dalam penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia senilai Rp 100 miliar pada 2009. Dugaan Antasari ini boleh jadi benar, dan bisa jadi kasus tersebut hanya momentum untuk menjatuhkannya setelah menangani sekian banyak kasus dan bersinggungan dengan Istana.

Sebelum menjabat Ketua KPK, Antasari merupakan jaksa karier pada Kejaksaan Agung. Namanya mulai moncer ketika ia menangani kasus yang melibatkan Tommy Soeharto. Jabatan terakhirnya di Kejaksaan Agung adalah Direktur Penuntutan Tindak Pidana Umum. Bersama dengan empat jaksa senior, antara lain Marwan Effendy yang kala itu menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Antasari mendapat mandat Jaksa Agung Hendarman Supandji mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK.

Meski menuai kontroversi, laju Antasari menjadi pimpinan KPK tidak terbendung. Ia mendapat dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar. Pada akhir 2007, Antasari resmi menjabat Ketua KPK. Untuk menjawab keraguan berbagai pihak kepadanya, Antasari “menyikat” para pejabat negara yang terbukti berbuat rasuah. Penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan merupakan pembuka dari sepak terjang Antasari ketika memimpin KPK.

Urip tertangkap tangan menerima uang Rp 6 miliar dari pengusaha Artalita Suryani. Dari perbuatannya itu Urip lalu diganjar hukuman 20 tahun penjara. Kasus itu membuat sejumlah pejabat di Kejaksaan Agung terjungkal. Mereka antara lain Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rachman dan Direktur Penyidikan M. Salim. Kasus ini lantas membuat beberapa pejabat Kejaksaan Agung menyimpan “dendam” kepada Antasari.

Melibatkan Cikeas?
Kasus ini tidak semata-mata melibatkan Artalita dengan sejumlah pejabat di Kejaksaan Agung. Ketika ditemui di rumahnya, awal Desember tahun lalu, Antasari mengakui transkripan sadapan terhadap telepon Artalita melibatkan pihak Cikeas. Bahkan disebut melibatkan Ani Yudhoyono. Antasari tidak merinci mengenai kasus yang melibatkan Ani. Kasus ini sempat menjadi perhatian publik, namun akhirnya menguap.

“Transkripan tersebut saya simpan di ruangan ketua KPK. Tapi, pada waktu penggeledahan, transkripan itu ikut disita penyidik,” kata Antasari kepada wartawan Koran Suluh Indonesia.

Gebrakan Antasari tidak berhenti sampai di situ. Karena tangan “dingin” Antasari, KPK menjadi “macan”. Sejumlah anggota DPR ditangkap. Kasus suap Bank Indonesia pun dibongkar habis yang tidak saja melibatkan Burhanuddin Abdullah (Gubernur BI waktu itu), tapi juga Aulia Pohan, besan SBY itu. Kasus Burhanuddin, yang kemudian menyeret Aulia Pohan, bermula dari pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution yang mengungkap ke publik soal aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia senilai Rp 100 miliar.

Rincian dana itu, Rp 68,5 miliar dikucurkan untuk bantuan hukum mantan direksi dan jajaran Dewan Gubernur BI yang terlibat dalam sejumlah kasus hukum, serta Rp 31,5 miliar digunakan untuk diseminasi UU BI di DPR. Sejak kasus itu menjadi perhatian publik, ada banyak orang yang “mengincar” Antasari. Karena penetapan Aulia sebagai tersangka, Presiden SBY disebut-sebut marah besar kepada Antasari.

Kasus yang lain dan juga melibatkan pihak Istana adalah mengenai dugaan korupsi pengadaan teknologi informasi (IT) Komisi Pemilihan Umum. Ketika itu KPK memang berniat meneliti perangkat IT KPU karena menemukan kejanggalan. Lewat pemberitaan, Antasari merasa heran salah satu anggota KPU mengumumkan bahwa IT tersebut tidak akan dipakai lagi karena rusak. Sebelumnya, KPU menyatakan, pemilihan umum legislatif dan presiden akan berjalan lancar karena alatnya baru, canggih, dan dibeli ratusan miliar rupiah dengan sistem yang baru.

Ia lantas mengirim Wakil Ketua KPK, Haryono, untuk memeriksa IT KPU itu. Seseorang lalu memperingatkan Antasari agar tidak melanjutkan hal tersebut. Pasalnya, setelah menahan besan SBY, Antasari disebut juga menyasar anaknya. Mendengar penjelasan orang tersebut, Antasari heran dan bingung.

“Rupanya pemenang pengadaan IT KPU itu perusahaan Hartati Murdaya. Tetapi, di balik itu rupanya ada anak SBY, yaitu Edhi Baskoro Yudhoyono atau Ibas. Saya kan nggak tahu itu. Saya baru sadar setelah diberitahu teman tadi,” tambah Antasari.

Di luar soal kemarahan SBY itu, sejak 2008, beberapa orang pernah merencanakan untuk membongkar “kebusukan” Antasari di masa lampau dengan menggunakan wartawan. Bahkan orang-orang ini menyatakan tersedia dana yang tidak terbatas untuk itu. Salah seorang dari kelompok itu adalah tokoh yang dkienal sebagai Harijadi A Munandar. Ia merupakan pengurus Majelis Dzikir An Nurussalam, lembaga dakwah yang didirikan oleh SBY. Ia juga mengaku sebagai adik dari mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, M. Salim, yang juga menjadi “korban” Antasari dalam kasus tangkap tangan jaksa Urip.

Dugaan-dugaan Antasari ini muncul ke publik setelah ia bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Karena itu, sulit untuk tidak menghubungkan tindakannya itu dengan “pertarungan” politik Jokowi dan SBY. Apalagi belakangan ini hubungan presiden dan mantan presiden itu berjalan kurang baik. Sejak beberapa waktu lalu, Jokowi menjalin komunikasi dengan pimpinan sejumlah partai politik dan ormas. Itu terlihat ketika Jokowi kerap mengadakan pertemuan politik dengan pimpinan partai politik ketika massa bergolak pada 4 November 2016 dan 2 Desember 2016. Dari semua pimpinan partai besar, hanya SBY yang tidak ditemui Jokowi. [Kristian Ginting]