Koran Sulindo – Kebijakan Bank Indonesia (BI) tentang pemungutan biaya isi saldo uang elektronik mendapat kritikan. Aturan BI itu disebut kontraproduktif dengan tujuan penciptaan kondisi masyarakat non-tunai atau cashless society.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKLI) Tulus Abadi mengatakan, upaya mewujudkan transaksi non-tunai adalah sebuah keniscayaan demi efisiensi pelayanan dan keamanan dalam bertransaksi. Keniscayaan itu berbanding lurus dengan fenomena ekonomi digital.
Akan tetapi, kebijakan BI justru bertentangan dengan semangat dari mewujudkan masyarakat non-tunai karena mengutip bayaran ketika masyarakat meningkatkan saldo elektroniknya. “Dengan adanya masyarakat non-tunai, sektor perbankan akan diuntungkan. Perbankan telah menerima uang walau belum digunakan untuk bertransaksi,” kata Tulus seperti dikutip antaranews.com pada Sabtu (16/9).
Kebijakan tersebut, kata Tulus, menjadi tidak adil untuk konsumen. Sudah seharusnya konsumen mendapatkan keuntungan tanpa mengenakan biaya isi saldo elektronik. Pengenaan biaya isu ulang, kata Tulus, bisa dikenakan ketika konsumen menggunakan bank yang berbeda dengan uang elektronik yang digunakan. Atas dasar itu, YLKI lalu mendesak BI untuk membatalkan kebijakannya itu.
Gubernur BI Agus Martowardojo sebelumnya memastikan kebijakan pemungutan biaya isi ulang saldo elektronik akan diterbitkan pada akhir September 2017. Biaya itu disebut tidak akan membebani masyarakat. Juga tentang maksimum isi saldo elektronik sedang dalam pembahasan.
Dasar pemungutan biaya, BI beralasan kebutuhan perbankan dalam membangun infrastruktur penyediaan uang elektronik, layanan teknologi, dan juga pemeliharaannya. [KRG]